Sementara itu, usul punya usul, dodol memiliki filosofi yang cukup mendalam lho. Bukan hanya sekadar makanan atau oleh-oleh saja, tapi Anda harus simak sejarahnya.
Selain Betawi daerah lain juga memiliki dodol yang menjadi ciri khasnya, misalnya dodol Garut, dodol Kandangan dari Kalimantan Selatan. Kemudian di Jawa Tengah dan Timur makanan ini disebut jenang.
Jenang memang agak sedikit berbeda, biasanya lebih lembek daripada dodol, lebih basah berminyak, dan umumnya dijual dalam bentuk lempengan atau plastikan. Jenang diiris sesuai permintaan pembeli. Dodol lebih kering (kesat), dipotong dengan ukuran 2 cm x 1 cm x 3 cm.
Dodol dikenal sebagai salah satu makanan khas Indonesia disebutkan dalam Kakawin Ramayana yang ditulis pada abad ke-9 pada era Kerajaan Medang, tepatnya pada Kakawin Ramayana bagian 17.112 yang berbunyi: "dwadwal anekawarna laketan tape panisi len" artinya dodol beraneka rupa, ketan, tapai, dan isian lainnya.
Kemudian dalam Prasasti Gemekan 930 M sisi kanan baris 23 - 24 disebutkan "nanjapan, kurawu, kurima, asam, dwadwal, kapwa madulur malariḥ" yang artinya; dan makanan ringan, seperti kurawu, kurima, asam, dodol, Semuanya diberi penerangan dan mendekat.
Nah, dalam proses pembuatan dodol Betawi dibutuhkan waktu lama dan kerjasama tim yang kuat. Untuk itu filosofi dodol bagi masyarakat Betawi adalah kebersamaan, gotong royong, dan kekeluargaan. Maka tak heran, masyarakat Betawi menganggap, pembuatan dodol dapat mempererat persaudaraan.