Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Sandiaga Uno: Indonesia Punya Peluang Percepat Pertumbuhan Ekonomi
Advertisement . Scroll to see content
Advertisement . Scroll to see content


Candra Fajri Ananda

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya

ISTILAH creative destruction ini ditelurkan oleh ekonom berkebangsaan Austria Joseph A Schumpeter medio 1940-an. Pengertian awalnya merujuk gagasan perlunya seorang kapitalis untuk melakukan destruksi (pengrusakan) yang membangun. Pada awalnya memang konsep ini terdengar nyeleneh, karena bagaimana mungkin sebuah kerusakan bisa melahirkan pembangunan. Akan tetapi lambat laun semuanya mulai diterima, sebab secara alamiah sistem dan metode ekonomi akan selalu berubah pada saat mengalami kejumudan.

Ide Schumpeter ini juga seolah-olah menunjukkan betapa investasi untuk inovasi sangat diperlukan, terutama untuk mendobrak keterbatasan sumber daya dengan cara atau pendekatan baru. Para kapitalis diadu untuk melahirkan ekuilibrium yang paling menguntungkan banyak pihak.

Destruction kemudian terus berkembang menjadi disruptive yang pada dasarnya merupakan inisiasi untuk melahirkan inovasi dan kreativitas. Disrupsi ekonomi berupaya menemukan titik-titik efisiensi baru melalui sederet pembaruan yang didalamnya juga membutuhkan biaya ekonomi (investasi).

Pada saat perekonomian mengalami pelambatan, baik dari sisi produksi atau sisi permintaan (daya beli melemah), maka investasi adalah solusi untuk masalah tersebut. Ketika investasi tidak kunjung datang, maka suatu “keniscayaan” untuk melahirkan inovasi dan kreativitas dalam pengelolaan sumber daya. Inovasi dan kreativitas diharapkan dapat memompa hasil produksi yang lebih baik, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas.

Kondisi perekonomian kita, seperti saat ini, menuntut kita untuk semakin serius bergerak pada pola disrupsi. Disrupsi bukan sekadar mendestruksi “pakaian” lama menjadi baru, tetapi juga beranjak pada sistem-sistem yang lebih segar dan menjanjikan.

Kita saat ini tengah menghadapi tekanan perekonomian yang sangat kuat. Produksi kita tersandera dengan ketergantungan terhadap bahan baku dan bahan penolong impor. Daya beli juga terus terancam seiring kenaikan produk-produk secara gradual. Harapan untuk investasi di sektor riil juga tengah “freezes up” karena biaya kelembagaan kita yang tergolong mahal.

Persoalan struktural pada neraca perdagangan juga membuat kita sedang sulit mengharapkan surplus. Selain itu neraca pembayaran kita juga pasang surut karena berpola antithesis dengan pertumbuhan ekonomi. Saat kita ingin produksi dan konsumsi bisa meningkat, maka neraca impor juga akan meningkat. Bisa dikatakan bahwa ketergantungan impor kita ini, terbukti mereduksi ketahanan ekonomi kita.

Atas dasar fakta tersebut, kita tidak bisa sekadar berpangku tangan menunggu investasi mampir ke negara kita. Secara agresif seharusnya kita mau membuat inovasi, keluar dari zona nyaman (kebiasaan), serta mengembangkan cara-cara baru yang tentu lebih efisien dan memberikan daya dorong yang positif. Kita juga menyadari bahwa untuk saat ini creative destruction atau disruptive economy masih tergolong sebagai sumber daya yang paling mahal, namun tidak lantas kita tidak jadi mengarah ke sana.

Justru sekarang ini momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menularkan virus creative destruction-nya melalui kebijakan-kebijakan kreatif di sektor publik. Hal yang sering terjadi, inovasi yang dilakukan dalam kebijakan publik, malah sering keluar dari koridor hukum. Untuk itu, inovasi yang dilakukan sebaiknya masih dalam kerangka governance yang memang menjadi dasar dari semua inovasi yang akan dilakukan.

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut