Curhat Warga Hidup di Salah Satu Kota Termahal Dunia, Tinggal di Tenda hingga Berutang
Sementara itu, laporan EIU juga menemukan kenaikan tajam harga bahan makanan, transportasi, dan minuman keras di Tel Aviv.
Di sebuah supermarket Tel Aviv di pinggiran kota yang dikunjungi oleh ABC, roti cokelat termurah seharga 9 dolar AS atau sama dengan sebotol selai kacang biasa. Sekotak kantong teh dihargai sekitar 11 dolar AS dan 1 kilogram steak daging sapi berharga 30 dolar AS.
Shaar dan keluarganya sekarang hidup dengan cara berutang di beberapa minimarket atau mengandalkan sumbangan makanan.
"Saya berutang ke minimarket itu. Saya merasa malu untuk masuk ke sana lagi. Ketika saya punya uang, saya akan membayarnya kembali," ucapnya sambil menunjuk minimarket.
Seperti banyak negara lain, Israel telah mengalami lonjakan inflasi pascapandemi, meskipun masih jauh di bawah tingkat negara-negara Barat. Pada Oktober lalu, tingkat inflasi tahunan melonjak menjadi 5,1 persen dari bulan sebelumnya 4,6 persen.
Profesor ekonomi Elise Scheiner Brezis dari Universitas Bar Ilan mengatakan, ada beberapa faktor yang membuat pemerintah menciptakan "badai sempurna" di Israel. Sebagian besar produk, termasuk bahan makanan dikenai pajak sebesar 17 persen. Beberapa produk impor juga dikenakan tarif tambahan dan pajak pembelian, tetapi angka pastinya sebagian besar dirahasiakan.
Brezis menuturkan, Israel juga beroperasi seperti pasar tertutup yang membatasi impor. Itu membuat Israel bergantung pada produksi lokal yang dikendalikan oleh segelintir perusahaan.
"Kami negara kecil sehingga produksi hanya dilakukan oleh dua atau tiga perusahaan yang memiliki banyak kekuatan monopoli," ucapnya.
Awal tahun ini, warga Israel turun ke jalan memprotes pemerintah untuk mengurangi biaya hidup. Masalah ini telah mendominasi kampanye politik menjelang pemilihan umum negara itu pada November mendatang.
Sementara sebuah laporan biaya hidup yang dilakukan organisasi bantuan Israel Latet menemukan lebih dari seperempat penduduk negara itu hidup dalam kemiskinan.
Editor: Jujuk Ernawati