Evergrande Gagal Penuhi Rencana Restrukturisasi Utang
BEIJING, iNews.id - Raksasa properti China Evergrande gagal untuk memberikan rencana restrukturisasi utang awal yang dijanjikan pada 31 Juli 2022 lalu. Ini menyebabkan kekhawatiran lebih lanjut tentang masa depan perusahaan pengembang properti tersebut.
Kegagalan Evergrande untuk memenuhi tenggat waktu yang ditentukan sendiri terjadi pasa saat seluruh sektor properti China menghadapi bailout hipotek dan penjualan perumahan yang terus merosot.
Menurut pengajuan ke Bursa pada Jumat (29/7/2022), Evergrande menawarkan beberapa rincian tentang prinsip restrukturisasi awal untuk utang luar negerinya. Perusahaan bahkan berniat mengumumkan rencana restrukturisasi utang luar negeri tahun ini.
Pengembang China dengan utang mencapai 300 miliar dolar AS itu telah menjadi pusat masalah real estat di negeri tirai bambu sejak tahun lalu. Mereka mengalami gagal bayar obligasi dolar AS pada Desember 2021 setelah berjuang selama berbulan-bulan untuk membayar kreditur, pemasok, dan investor.
Demi mengatasi dampak tersebut, pemerintah China telah melakukan intervensi untuk mengambil peran utama dalam membimbing perusahaan melalui restrukturisasi utang dan operasi bisnis yang meluas.
Dalam pengajuan Jumat pekan lalu, Evergrande menyatakan telah membuat kemajuan positif dalam proses restrukturisasi offshore. Namun, mereka masih bekerja dengan kreditur dan penasihat untuk melakukan uji tuntas perusahaan.
"Mengingat ukuran dan kompleksitas Grup dan dinamika yang dihadapi Grup, proses uji tuntas tetap berlangsung. (Pekerjaan itu) Mungkin selesai dalam waktu dekat," kata perusahaan, dikutip dari CNN Business, Selasa (2/8/2022).
Kreditur internasional telah mengeluh awal tahun ini karena mereka sama sekali tidak mengetahui niat perusahaan. Setelah kreditur menuntut pembaruan dan mengancam akan mengambil tindakan hukum, Evergrande berjanji pada Januari lalu akan merilis proposal restrukturisasi awal dalam waktu enam bulan. Pada Juni, investor masih meyakini Evergrande akan menyampaikan rencananya pada akhir Juli.
Perkembangan tersebut terjadi pada saat yang sulit bagi sektor properti China, yang telah berjuang dengan penurunan tajam harga rumah, melemahnya permintaan pembeli, dan serangkaian default utang oleh perusahaan real estat.
Ekonomi China juga melambat secara dramatis setelah lockdown ketat akibat Covid-19, sehingga mengurangi permintaan dan mengganggu kegiatan industri. Produk domestik bruto (PDB) China hanya tumbuh 0,4 persen pada kuartal II 2022, terendah sejak awal pandemi. Analis khawatir target pertumbuhan tahunan sebesar 5,5 persen pada tahun ini mungkin tidak tercapai.
Evergrande sangat besar, memiliki sekitar 200.000 karyawan, membukukan penjualan lebih dari 110 miliar dolar pada 2020, dan memiliki lebih dari 1.300 pengembangan di lebih dari 280 kota. Banyak proyek properti yang tertunda sejak tahun lalu karena masalah likuiditas perusahaan.
Analis telah lama khawatir runtuhnya Evergrande dapat memicu risiko yang lebih luas untuk pasar properti China, merugikan pemilik rumah dan sistem keuangan yang lebih luas. Real estate dan industri terkait menyumbang sebanyak 30 persen dari PDB.
Sejak default Evergrande, beberapa pengembang besar lainnya, termasuk Kaisa, Fantasia, dan Shimao Group yang berbasis di Shanghai, juga telah mencari perlindungan dari kreditur.
Dalam beberapa minggu ini, krisis real estat telah meningkat. Ribuan pembeli rumah yang marah yang sebelumnya telah membayar uang muka untuk proyek yang belum selesai mengancam akan berhenti membayar KPR jika konstruksi tidak selesai tepat waktu. Beberapa dari mereka telah melakukan protes di pusat kota Wuhan, menekan pemerintah daerah dan bank untuk membantu mendorong pengembang menyelesaikan rumah prabayar mereka.
"Boikot hipotek merupakan ancaman ganda bagi pengembang dan pasar perumahan," kata analis di Capital Economics dalam sebuah laporan akhir bulan lalu.
Mereka telah menarik perhatian pada masalah pengembang yang kekurangan uang karena tidak dapat menyelesaikan properti yang telah mereka jual, yang menunda pembeli rumah baru. Boikot juga membuat bank lebih berhati-hati dalam memberikan kredit, yang dapat mengurangi penjualan properti lebih lanjut.
Dalam sebuah laporan minggu lalu, S&P Global Ratings memperkirakan penjualan properti di China bisa turun sepertiga tahun ini karena boikot hipotek. Pasalnya, banyak orang percaya pengembang tidak akan dapat menyelesaikan unit prapenjualan tepat waktu.
"Tanpa penjualan, lebih banyak pengembang akan runtuh, yang merupakan ancaman finansial dan ekonomi," kata analis Capital Economics.
Editor: Jujuk Ernawati