Indonesia Berpotensi jadi Pusat Energi Bersih Dunia, Program Dekarbonisasi Pertamina Kian Agresif
Tak berhenti di B50 saja, Pertamina tetap melakukan lompatan besar dengan menggarap pilot project biodiesel 100 persen (B100) atau murni berbahan baku CPO. Orang nomor satu di Pertamina, Nicke Widyawati, memastikan kemampuan kilang minyak perusahaan mampu mengembangkan biodiesel murni dengan mengedepankan teknologi canggih.
Rencana produksi B100 mencuat sejak 2019 lalu, kala itu Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Pertamina mulai menjajaki biodiesel murni. Atas arahan Kepala Negara, perusahaan secara bertahap melakukan penggodokan hingga akhirnya produksi B100 sepenuhnya dilaksanakan pada 2024. Target implementasinya pertama kali akan dilaksanakan di Kilang Plaju, Sumatera Selatan.
"Jadi kita dari tahun 2008, kita sudah mengembangkan biodiesel mulai dari 2,5 persen, kita terus bertahap sehingga nantinya ini akan kita capai dengan B50, tapi sebenarnya secara teknologi kita kita bisa sampai B100," tuturnya.
Bukan kali pertama BUMN yang aktif di sektor hulu dan hilir industri minyak dan gas ini memfasilitasi bioenergi, perseroan sebelumnya juga berhasil mengimplementasikan biodiesel 35 persen (B35) dan mulai diterapkan sejak awal Februari tahun ini. Dalam konteks itu, Pertamina memfasilitasi FAME yang merupakan BBN berbasis CPO 35 persen ke dalam BBM jenis Solar.
Tercatat, hingga Agustus 2023 ada 119 Terminal BBM yang dikelola Pertamina sudah menyalurkan B35 di pasar Tanah Air. Dengan kata lain, telah tersedia secara 100 persen di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU). Adapun perusahaan menargetkan serapan B35 sepanjang 2023 sebesar 13,15 juta kiloliter (kl).
Tak main-main, penerapan B35 mampu menghemat devisa negara yang diperkirakan Pertamina menyentuh angka Rp 161 triliun pada tahun ini, lantaran adanya penurunan impor BBM jenis Solar. Sebelumnya, perusahaan berhasil menghemat devisa negara senilai Rp 120 triliun akibat substitusi BBM sepanjang tahun lalu.
"Karena ini (B35) sebagai pengganti impor BBM tentunya, dan pencapaian yang sudah kita lakukan dengan adanya mandatory B35 ini menghasilkan baik itu penghematan devisa, di tahun 2022 itu mencapai Rp 120 triliun, di tahun ini diproyeksi ini bisa menurunkan impor BBM (jenis Solar) Rp 161 triliun," ujar dia dihadapan Panitia Kerja (Panja) Komisi VI DPR RI.
Dari sisi penurunan karbon emisi, Nicke menyebut Pertamina telah menurunkan 28 juta ton C02 pada 2022. Bahkan perseroan menargetkan penurunannya mencapai 35 juta ton C02 pada 2024. Dia yakin bahwa melalui tangan dingin perusahaan migas ini, Indonesia mampu memanfaatkan biofuel dalam transisi energi.
Substitusi BBM menjadi BBN merupakan strategis pemerintah melalui Pertamina untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, akibat tingginya impor BBM.
Substitusi ini sekaligus mendorong bauran energi baru terbarukan di dalam negeri. Selama 2022 realisasi EBT pada bauran energi primer baru menyentuh 12,3 persen, sehingga diperlukan upaya agresif untuk mengejar capaian bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025, salah satunya peningkatan substitusi BBM ke BBN.
Pertamina memang agresif menjalankan program energi hijau. Tak tanggung-tanggung, perusahaan mengalokasikan 14,5 persen dari total capital expenditure (capex) atau modal kerja untuk investasi di sektor green business alis bisnis energi hijau. Nicke menyebut jumlah anggarannya sangat tinggi dibandingkan nilai investasi yang digelontorkan perusahaan energi lainnya.
Di mana, nominal dana yang dipakai perusahaan lain hanya satu digit saja. Strategi investasi Pertamina di green business sudah diatur dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP). Upaya tersebut guna mendorong capaian NZE pada 2060 atau lebih, termasuk memaksimalkan pemanfaatan sumber energi rendah karbon.
"Masih banyak PR (pekerjaan rumah) yang kita kerjakan, di mana di tahun 2024, kita sekarang sudah mulai menyusun target 2024 dan alokasi anggarannya kita sudah melakukan taksonomi dengan melakukan sustainability budget tagging (SBT), jadi ada budget-budget yang kita tagging khusus untuk program net zero emission ini," ungkapnya.
Dia merinci sejumlah strategi untuk mencapai NZE diantaranya, menggunakan teknologi Carbon Capture, Utilization & Storage (CCUS), efisiensi kilang dan blok migas, menjalankan program Langit Biru dengan menyediakan produk BBM yang ramah lingkungan, termasuk pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN).
Di level implementasi, berbarengan dengan pemanfaatan biodiesel yang terus ditingkatkan, BUMN migas pelat merah juga masif memanfaatkan bioetanol, green hydrogen, hingga geothermal atau panas bumi. Sebagai contoh, pada Juli 2023 PT Pertamina Patra Niaga memperkenalkan BBM Pertamax Green 95, bahan bakar ramah lingkungan yang dihasilkan dari campuran gasoline (bensin) dan bioetanol 5 persen (E5).
"Setelah biodiesel, B35 berhasil kita akan masuk ke gasolin karena gasoline ini juga impor, sedangkan kita juga memiliki sumber daya untuk bioetanol yang cukup besar, baik itu tebu, kasyafah, jagung, dan juga sorgung. Selain itu juga, dari setiap BBB ini bisa kita proses menjadi energi," papar dia.
Pada tahap awal, Pertamax Green 95 baru tersedia di 10 SPBU di Surabaya dan 5 SPBU di Jakarta, dengan harga jual Rp 13.500 per liter. Namun begitu, pemerintah akan memperluas pasar Pertamax Green 95 ke lokasi lainnya.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi, Yudo Dwinanda Priaadi, mengatakan implementasi E5 diperluas pada skala yang besar. Hasil implementasi pada area terbatas akan direview untuk menjadi bahan pelajaran dalam menyiapkan implementasi bioetanol pada area yang lebih luas.
"Kami sangat mengapresiasi upaya seluruh pihak yang terlibat, yang terus mendukung upaya transisi energi melalui upaya pencampuran BBN jenis Bioetanol, implementasi E5 di Surabaya merupakan langkah kecil yang akan menentukan pencapaian implementasi bioetanol selanjutnya," tutur Yudo.
Menurutnya, langkah pengurangan impor bensin melalui pemanfaatan bioetanol menjadi perhatian serius pemerintah. Hal ini menyusul diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2023 tentang Percepatan Swasembada Gula Nasional dan Penyediaan Bioetanol Sebagai Bahan Bakar Nabati (Biofuel).
Potensi hilirisasi bioetanol berbasis tebu, kata Yudo, membuka peluang menciptakan ketahanan energi melalui pengurangan ketergantungan impor bahan bakar minyak, sekaligus menciptakan bauran EBT.
Sementara itu, Kementerian ESDM mencatat manfaat lain bioetanol berupa pengurangan emisi gas rumah kaca hingga 43 persen, termasuk CO2, NOx dan Partikel PM2.5. Penurunan emisi dapat terjadi karena etanol sebagai gasohol memiliki nilai oktan (RON) sebesar 128, sehingga pencampuran dengan bensin akan meningkatkan kadar oktan dan kualitas pembakaran BBM.
Editor: Puti Aini Yasmin