Menabur Benih Energi Hijau, Siasat Pertamina Atasi Krisis Udara Bersih di Jabodetabek
Bahkan, dalam jangka panjang Pertamina mengalokasikan sekitar 60-65 persen dari total investasinya untuk mengembangkan LNG di sektor hulu. Selain itu, menggunakan 15 persen capital expenditure (capex) untuk mengembangkan bisnis panas bumi, energi surya, dan angin.
“Tujuan utama kami adalah mencapai keamanan dan kemandirian energi. Penting untuk dicatat bahwa meskipun kami terus mengoperasikan aset minyak dan gas kami, namun kami melakukannya dengan lebih sadar terhadap lingkungan melalui operasional bisnis yang berkelanjutan,” tuturnya.
Pertamina telah memulai beberapa upaya dekarbonisasi untuk mengurangi emisi dari aset bisnis yang ada dan berhasil mengurangi emisi karbon sebesar 31 persen. Berkat upaya tersebut, Pertamina berada di peringkat kedua secara global dalam sub-sektor minyak dan gas terintegrasi dalam hal kinerja ESG.
Adapun, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menetapkan bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Sementara, penurunan emisi sebesar 29 persen pada 2030.
Mengukir strategi JIGT, Pengamat Ekonomi Energi sekaligus Dosen Departemen Ekonomika dan Bisnis Sekolah Vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Fahmy Radhi mengatakan, kapasitas tampung JIGT sebesar 6,3 juta barel cukup memenuhi kebutuhan BBM green di Jabodetabek. Jumlah itu mampu menekan volume polusi udara di Jabodetabek.
Fahmy menilai bila terminal baru Pertamina serupa dengan TBBM Plumpang, maka target penanganan polusi menjadi lamban karena didominasi BBM fosil. Sebaliknya, JIGT digunakan untuk memfasilitasi produk energi hijau, maka krisis udara bisa diselesaikan.
"Kalau kapasitasnya saya kira cukup memenuhi gitu ya, kemampuan Pertamina untuk memproduksi sesuai dengan kapasitas yang dibutuhkan dan kemudian menggantikan gasoline, menggantikan pertalite, menggantikan solar itu baru itu bisa" tutur Fahmy kepada iNews.id
Jakarta Integrated Green Terminal, katanya, juga bisa disulap menjadi fasilitas serupa kilang yang berfokus pada produksi bahan bakar green. Pandangan ini didasarkan pada hitungan produksi dan pemanfaatan bahan bakar rendah karbon di dalam negeri yang belum maksimal. Sekalipun Pertamina sudah mengambil langkah konkrit dengan mensuplai berbagai sumber energi ramah lingkungan, tak dipungkiri saat ini perseroan belum mendesain kilang minyak yang secara 100 persen memproduksi BBM hijau.
"Di tempat itu (JIGT) tidak hanya sebagai tempat penyimpanan, tetapi di situ digunakan juga sebagai fasilitas untuk jadi seperti kilang minyak gitu, tetapi kilang tadi menghasilkan green energy tadi," tuturnya.
Pengamat energi itu mencontohkan Pertamina telah berhasil mensuplai sumber energi hijau, salah satunya dengan menjual bioenergi yang berasal dari bahan baku organik, Biodiesel 35 persen (B35). BBM ini merupakan campuran bahan bakar nabati berbasis CPO atau sawit, yaitu FAME, dengan kadar 35 persen, sementara 65 persen lainnya adalah solar.
Fahmy menilai ideal untuk menekan emisi karbon dengan meningkatkan kadar B35 menjadi B100 atau Biodiesel murni oleh Pertamina selaku pelaksana mandatori. Hanya saja, argumentasi pemanfaatan B100 perlu mempertimbngkan harga jual dan daya beli masyarakat, apalagi pelaksanaan B35 saat ini masih bergantung pada insentif pemerintah.
"Kalau Biodiesel itu porsinya masih kecil karena Pertamini sendiri masih di B35, belum sampai di B100 persen (Biodiesel murni)," lanjut dia.
Sumber energi bersih lain yang belum memadai yang juga disinggung adalah Amonia dan Hidrogen karena keterbatasan infrastruktur pendukung. Padahal kedua bahan kimia itu menjadi sumber utama dekarbonisasi. Fahmy mencatat kapasitas Amonia dari campuran BBM fosil masih sangat rendah, bahkan Indonesia masih cenderung mengimpor.
Meski demikian, Pertamina melalui beberapa entitas bisnisnya sudah melakukan penjajakan dengan mitra strategis untuk mengembangkan Hidrogen hijau dan Amonia hijau. Misalnya, PT Pertamina Power Indonesia (NRE) yang menggandeng perusahaan energi asal Jepang, Tokyo Electric Power Company Holdings, Incorporated (TEPCO HD)
Keduanya menyepakati kerja sama pelaksanaan survey verifikasi, seleksi bersama atas area produksi hidrogen, identifikasi segmen pasar, pengembangan pasar di Indonesia. Ke depan, kedua entitas juga akan mengembangkan Hidrogen hijau dengan biaya yang efisien, produksi, transportasi dan teknologi Amonia. Dalam tahapan komersialisasinya, prioritas target yang disasar oleh keduanya adalah pasar domestik, dan dalam jangka menengah hingga panjang akan menyasar pasar ekspor ke Jepang dan negara lain.
Selain itu, holding melalui PT Kilang Pertamina Internasional menggandeng
BP Berau Ltd, operator Kontraktor Kontrak Kerja sama Bagi Hasil (PSC) mendukung studi yang akan dilakukan Pertamina mengenai potensi pasokan gas dan injeksi CO2 di Tangguh terkait dengan potensi pengembangan Amonia Biru di Teluk Bintuni, Papua Barat.
"Jadi maksud saya dalam perencanaan itu tidak hanya sebagai penyimpanan BBM, tetapi gunakan sebagai fasilitas semacam kilang yang justru menghasilkan 100 persen Biodiesel gitu, jadi di olah di situ, disimpan di situ, kemudian itu dikhususkan menggantikan Solar, kemudian di fasilitas yang lain menghasilkan Gasolin yang green energy menggantikan Pertalite, menggantikan Pertamax, itu baru memberikan dampak positif terhadap polusi udara," kata Fahmy.
Editor: Puti Aini Yasmin