Ngeri! Menteri Senegal Sebut Krisis Pangan Bisa Bunuh Lebih Banyak Orang daripada Covid
NUSA DUA, iNews.id - Menteri Ekonomi Senegal Amadou Hott mendesak industri pangan global tidak memboikot perdagangan produk makanan Rusia dan Ukraina karena krisis pangan terjadi di negara-negara rentan. Menurutnya, tanpa resolusi segera, krisis pangan bisa membunuh lebih banyak orang daripada selama masa Covid-19.
Perang telah membuat banyak negara seperti AS dan negara-negara di Uni Eropa memberikan sanksi atas penggunaan atau perdagangan barang-barang Rusia. Dia menuturkan, di saat bahan pokok seperti makanan dan pupuk dibebaskan dari sanksi, mereka yang berada di sektor makanan secara preemptif menghindari transaksi untuk melindungi diri mereka sendiri.
"Kami memahami makanan dan pupuk dibebaskan dari sanksi. Namun, pelaku pasar, baik pedagang, bank, atau asuransi, enggan ikut serta jika produknya berasal dari lokasi tertentu karena takut terkena sanksi di kemudian hari," kata dia pada pertemuan para pemimpin keuangan G20 di Bali, pekan lalu, dikutip dari CNBC International, Rabu (20/7/2022).
"Apakah mungkin untuk mengatakan, setiap kali Anda membeli pupuk, makanan dari Rusia atau dari Ukraina atau dari mana pun di seluruh dunia, tidak akan ada sanksi hari ini, tidak ada sanksi besok, sehingga kami dapat menstabilkan pasar? Kami tidak bertanggung jawab atas krisis ini tetapi kami (negara Afrika) menderita," imbuhnya.
Ketahanan pangan dan kenaikan harga pangan mendominasi diskusi pada pertemuan G-20 pekan lalu karena gangguan yang disebabkan oleh pandemi dan perang di Ukraina, yang menjungkirbalikkan rantai pasokan pangan di seluruh dunia.
Inflasi dan kelangkaan pangan sudah meningkat sebelum perang. Tetapi karena Rusia dan Ukraina adalah dua pengekspor bahan makanan pokok terbesar seperti gandum, perang memperburuk masalah tersebut di sejumlah negara, seperti Afrika dan Timur Tengah.
Masalah tersebut menjadi pelik bagi negara-negara Afrika, karena menurut Hott, sepertiga dari mereka menderita kekurangan gizi secara global. Misalnya Afrika, yang mengalami kekurangan sekitar 2 juta ton pupuk tahun ini, yang berarti kerugian 11 miliar dolar dalam produksi pangan tahun ini.
Jika Afrika dan negara lain tidak bisa lagi mengandalkan impor pangan, diperlukan investasi untuk mempercepat produksi pangan lokal.
"Seperti selama masa Covid, dunia bersatu dan membuat keputusan luar biasa dalam waktu sesingkat-singkatnya. Semua mitra mengubah prosedur dan kebijakan untuk benar-benar menghadapi tantangan. Seperti IMF, Bank Dunia, ADB, semua mengubah kebijakan mereka untuk membantu banyak negara," tutur dia.
"Kali ini sama saja. Jika kita tidak cepat, kita akan memiliki lebih banyak korban daripada selama masa Covid," tambahnya.
Lebih buruk lagi, kata Hott, pemerintah akan mengeluarkan lebih banyak uang untuk membeli persediaan makanan dan mendukung populasi dengan bantuan pada saat suku bunga naik.