JAKARTA, iNews.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) mencatat kerugian ekologi atau lingkungan akibat korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022 sebesar Rp271 triliun. Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Prof Andri Gunawan Wibisana pun meragukan hal itu.
Ia menilai kerusakan lingkungan di daerah tambang tidak bisa disimpulkan sebagai kerugian negara dan terjadi tindak pidana korupsi. Hal ini disampaikan menanggapi penggunaan metode kerusakan lingkungan untuk menilai adanya kerugian negara dalam kasus tindak pidana korupsi tata niaga timah yang ditangani Kejaksaan Agung.
Kementerian ESDM Beri Sinyal Kuota Impor SPBU Swasta Naik Tahun Depan
“Buktikan dulu tindak pidana korupsinya. Kerusakan lingkungan itu biasanya merupakan dampak. Dalam kasus pencemaran atau kebakaran hutan misalnya, tidak otomatis terjadi korupsi, tapi kesalahan dalam tata kelola lingkungan,” ujar Andri saat dikonfirmasi, Jumat (1/3/2024).
Kejaksaan Agung saat ini telah menahan dua mantan Direktur Utama PT Timah periode 2016-2021 Mochtar Riza Pahlevi Tabrani dan Direktur Keuangan PT Timah Emil ermindra serta 11 orang manajemen sejumlah perusahaan smelter timah yang beroperasi di Kepulauan Bangka Belitung.
Kejagung Tetapkan 1 Tersangka Baru Dugaan Kasus Korupsi Izin Usaha PT Timah
Para tersangka didakwa melakukan tindak pidana korupsi dalam tata niaga timah dengan total kerugian negara mencapai Rp271 triliun. Angka kerugian itu dihitung oleh pakar IPB Bambang Hero Saharjo berdasarkan kerusakan lingkungan akibat penambangan timah.
Bambang menjelaskan penghitungan kerugian ekologi dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 7 Tahun 2014 tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran atau Kerusakan Lingkungan.
Kejagung Tetapkan 1 Tersangka Baru Kasus Korupsi Timah
Namun, terkait dengan kerugian negara akibat kerusakan ekologi, Andri mengatakan bahwa penghitungan harus dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan hukum. Kemudian harus diperiksa metodenya, lazim digunakan atau tidak, diterima di komunitas ilmiah atau tidak.
“Ini kan bukan seperti menghitung barang atau mobil yang hilang. BPK juga belum tentu punya kemampuan untuk menghitung kerusakan lingkungan. Ada namanya teknik evalusi lingkungan dan itu ada pakarnya,” kata pria yang juga menjabat sebagai Ketua Center for Environmental Law and Climate Justice (CELCJ).
Untuk menilai kasus tata niaga timah, Andri mengaku harus melihat detail kasusnya. Secara normatif, menurut Andri, ada dua bentuk kerugian yakni kerugian negara yang berkaitan dengan APBN/ APBD dan perekonomian perekonomian negara seperti terjadi dalam kasus sawit Duta Palma Group.
“Buktikan dulu korupsinya. Tidak berarti ada pencemaran terus ada korupsi kan. Korupsi bisa berdampak ABCD, salah satunya kerusakan lingkungan,” tutur dia.
Editor: Puti Aini Yasmin
- Sumatra
- Jawa
- Kalimantan
- Sulawesi
- Papua
- Kepulauan Nusa Tenggara
- Kepulauan Maluku