Bahayakan Nyawa Pasien, AI Tidak Bisa Berikan Resep dan Gantikan Peran Dokter
JAKARTA, iNews.id - Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) mengeluarkan peringatan keras terhadap penggunaan kecerdasan buatan (AI) di sektor layanan kesehatan. Alasannya? Risiko tinggi mengancam keselamatan pasien jika AI sampai menggantikan peran vital dokter!
Pernyataan ini disampaikan Staf Ahli Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya Kemkomdigi, R Wijaya Kusumawardhana, dalam acara Ngopi Bareng di Kantor Kemkomdigi, Jakarta Pusat, Jumat (11/7/2025).
"Kementerian Kesehatan memiliki DTO (Digital Transformation Office) dan sudah cukup berkembang. Namun, penggunaan AI yang harus dihindari karena berisiko tinggi artinya tidak semata mata membiarkan layanan kesehatan diserahkan kepada AI," kata Wijaya.
Dia mencontohkan, layanan telemedicine seperti Halodoc, jika menggunakan AI untuk mendiagnosis penyakit, pasien tetap wajib berkonsultasi langsung dengan dokter. Wijaya menambahkan diagnosis penyakit dalam membutuhkan kehati-hatian ekstra.
"Apalagi berhubungan dengan penyakit dalam harus berhati-hati lagi. Kalau flu tetap perlu dicermati kode etik kedokteran yang harus dicermati, jadi jangan sembarangan," ucapnya, menekankan pentingnya etika medis.
Bahaya laten lain yang disoroti adalah potensi AI menerbitkan resep obat secara mandiri. "Habis itu AI menerbitkan resep sendiri, nah itu gak boleh," kata Wijaya.
Dia juga menyoroti keterbatasan AI dalam mendeteksi penyakit tertentu: "Layanan telemedicine pun dokter meminta harus datang langsung karena bisa jadi ada penyakit bawaan. AI foto ada benjolan gak bisa, dokter pun tidak bisa harus MRI atau CT scan."
Di sisi lain, Wakil Menteri Komunikasi dan Digital (Wamenkomdigi) Nezar Patria, sebelumnya menegaskan komitmen Indonesia sebagai negara berkembang yang proaktif dalam sektor AI. Indonesia bahkan sedang dalam proses mengintegrasikan prinsip etika dan inklusivitas AI UNESCO ke dalam kerangka regulasi nasional.
Saat menghadiri forum Ministerial Session, Nezar mengungkapkan, "Indonesia telah mengintegrasikan prinsip-prinsip etika dan inklusivitas AI UNESCO ke dalam penyusunan kebijakan dan tata kelola secara nyata. Integrasi tersebut termasuk pengembangan strategi nasional AI untuk kemudian segera dilanjutkan dengan penerbitan regulasi AI dalam waktu dekat ini."
Integrasi ini menggarisbawahi upaya pemerintah untuk menyeimbangkan inovasi AI dengan perlindungan masyarakat. Namun, peringatan keras dari Kemkomdigi ini tentu menjadi sorotan utama, menimbulkan pertanyaan besar: seberapa siapkah kita menghadapi era AI di bidang kesehatan?
Editor: Dani M Dahwilani