Apa Hukum Pacaran di Bulan Ramadhan? Begini Penjelasannya
JAKARTA, iNews.id - Apa hukum pacaran di bulan Ramadhan? Apakah berpacaran dapat membatalkan puasa?
Setelah bulan Syaban berakhir, seluruh umat muslim di dunia akan melaksanakan ibadah wajib pada bulan Ramadhan, yakni berpuasa. Dengan begitu, orang-orang tersebut akan menahan lahar dan dahaga selama seharian penuh.
Selain tidak makan dan minum, seorang muslim yang berpuasa juga diharamkan melakukan hal lain yang dapat membatalkan puasa. Dari sanalah biasanya larangan berpacaran selama berpuasa banyak digaungkan.
Sebelum beranjak pada hukum pacaran di bulan suci, perlu diketahui bahwa terdapat beberapa hal yang dapat membatalkan puasa. Berikut ini adalah daftar hal-hal tersebut.
• Sengaja memasukkan segala sesuatu ke dalam mulut, hidung, atau telinga.
• Sengaja muntah.
• Sengaja memasukkan benda atau obat melalui lubang kencing atau lubang anus.
• Haid.
• Nifas.
• Mengeluarkan air mani.
• Berhubungan intim.
• Gila.
• Murtad.
Dari penjelasan di atas, berpacaran memang tidak termasuk dalam daftar hal-hal yang dapat membatalkan puasa. Namun perlu diketahui bahwa Islam tidak mengenal istilah pacaran.
Pacaran diidentikkan dengan sebuah aktivitas yang mengarah pada perzinahan. Sementara itu, berzina adalah hal yang sangat dibenci oleh Allah SWT.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Janganlah kalian mendekati zina, karena zina adalah perbuatan keji dan jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra: 32)
Dengan berpacaran saat berpuasa, maka Anda berarti tidak mau menahan diri dari segala perbuatan yang dilarang. Anda pun hanya merasa haus dan lapar, tanpa memperoleh pahala dan keberkahan selama berpuasa.
Jabir bin ‘Abdillah ra mengatakan, “Ketika engkau berpuasa maka hendaknya pendengaran, penglihatan dan lisanmu turut berpuasa, yaitu menahan diri dari dusta dan segala perbuatan haram serta janganlah engkau menyakiti tetanggamu. Bersikap tenang dan berwibawa di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Latho’if Al Ma’arif, 277).