JAKARTA, iNews.id - Penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) 2024 ditengarai banyak kecurangan. Peneliti dan pengamat politik Ray Rangkuti pun menyebut dua opsi yang dapat dilakukan dalam menyikapi kecurangan Pemilu 2024 yakni jalur hukum dan politik.
Menurut Pendiri Lingkar Madani itu, jalur hukum bisa ditempuh lewat Mahkamah Konstitusi (MK) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Namun, mengingat dugaan keberpihakan juga menyeret nama MK sejak awal penyelenggaraan Pemilu 2024, Ray Rangkuti menilai opsi hukum jadi lebih sulit dilakukan.
Maduro: AS Ingin Ubah Rezim di Venezuela dan Menjadikannya Negara Jajahan!
"Ada dua jalur, jalur hukum dan politik. Jalur hukum ke Bawaslu dan MK, apakah akan berhasil? Saya tidak yakin. Pertama di MK, kita tahu masih ada Paman Usman meskipun tidak boleh lagi menangani kasus yang terkait dengan sengketa Pemilu atau Pilpres," kata Ray Rangkuti dalam program Cawe-Cawe dikutip dalam kanal YouTube Official iNews, Minggu (25/2/2024).
Sementara di Bawaslu, kata Ray Rangkuti, kualitas dan kemampuannya diragukan. Dia menyebut jika Bawaslu tidak dapat diharapkan dalam membuat keputusan dramatik. Sehingga, opsi penggunaan hak angket Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam menyikapi kecurangan Pemilu paling mungkin.
Pemantau Pemilu Ungkap Konsekuensi jika Hak Angket Tak Dijalankan DPR
Namun, Ray Rangkuti memberikan penekanan bahwa hak angket DPR tersebut tidak ditujukan untuk penyelenggara Pemilu, yakni KPU maupun Bawaslu.
“Sejak dari awal saya bilang ambil jalur politiknya, angket. Tapi nggak mungkin ngangket tahapan Pemilu, karena tahapan Pemilu dikerjakan penyelenggara Pemilu. Penyelenggara Pemilu itu tidak bisa diangket oleh DPR,” ucapnya.
Wacana Hak Angket, TKN Nilai Gugatan Pemilu Harusnya Dibawa ke Jalur Hukum Bukan Politik
Lantas, kepada siapa hak angket itu dimaksudkan? Ray Rangkuti tegas menjawab pemerintah. Menurutnya, dugaan penggunaan aparatur negara baik di tingkat kepolisian, TNI, ASN, hingga kepala desa untuk mobilisasi dukungan pada paslon tertentu, hak angket itu bisa diajukan.
“Di angket itulah yang dicari tau. Angket ini jelas tidak bisa mengubah hasil, karena penyelesaiannya politik,” imbuhnya.
Ray Rangkuti pun menyinggung alasan lain kini MK tidak lagi bisa diharapkan. Menurut dia, di masa kepemimpinan Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD, MK cukup berintegritas. Apalagi, mereka dengan tegas membawa konsep pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, dan massif) sebagai bentuk kecurangan.
“Kalau anda mendapatkannya dengan cara manipulatif, mobilisasi, intimidasi, dan macam-macam yang melanggar aturan, anda bisa didiskualifikasi. Jadi nggak penting suara anda nggak bisa dikejar, tapi cara proses. Bukan soal kuantitas, tapi soal cara mendapatkan suara seperti apa. Ini dikenal dulu zaman Jimly dan Mahfud, tapi setelah ketua MK tidak lagi dijabat mereka berdua, model yang seperti ini mulai ditinggalkan MK. mereka lebih banyak menguji angka-angka. Makanya kita banyak sebut Mahkamah Konstitusi adalah mahkamah kalkulator," tegasnya.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari, menilai jika pemilihan kembali ke masyarakat. Menurut dia, misalnya dalam konteks film ‘Dirty Vote’ yang mengungkap skenario dugaan kecurangan mobilisasi pejabat lewat penunjukkan penjabat kepala daerah.
"Sebetulnya kalau kita bicara pemilihan itu kan semuanya kembali kepada masyarakat. Film-film seperti Dirty Vote itu kan kesalahannya kan dia melihat suara itu dari atas. Misalnya mengidentikan penunjukkan Pj itu sebagai mobilisasi suara dengan kecurangan, padahal itu cuma manajemen pemerintahan biasa," ujar Qodari.
Editor: Wahyu Triyogo