1.000 Orang Lebih Tewas akibat Perang di Suriah dalam 3 Hari, Apa yang Terjadi?
DAMASKUS, iNews.id - Pertempuran antara pasukan keamanan Suriah dengan kelompok loyalis mantan Presiden Bashar Al Assad sejak beberapa hari terakhir telah menewaskan 1.000 orang lebih. Sebagian besar korban adalah etnis minoritas Alawite.
Presiden Suriah Ahmed Al Sharaa pun menyerukan persatuan dan perdamaian nasional, setelah pertempuran beberapa hari terakhir. Kekerasan meletus sejak Kamis (6/3/2025) antara pasukan keamanan Suriah baru dibentuk yang dibantu milisi-milisi loyalis pemerintah, melawan etnis Alawite, di tempat rezim Assad berasal. Pertempuran pecah di sepanjang Pantai Mediterania.
"Kita harus menjaga persatuan nasional (dan) perdamaian sipil sebisa mungkin dan, Insya Allah, kita akan bisa hidup bersama di negara ini,” kata Al Sharaa, dalam pidatonya di sebuah masjid Kota Damaskus, Minggu (9/3/2025).
Ini merupakan ujian terbesar bagi pemerintahan persatuan Suriah di bawah Al Sharaa sejak mengambil alih sekaligus menggulingkan kekuasaan rezim Assad pada Desember 2024. Al Sharaa, pemimpin kelompok oposisi bersenjata utama Hayat Tahrir Al Sham (HTS), ditunjuk sebagai presiden sementara Suriah sampai pemerintahan permanen terbentuk.
Kementerian Dalam Negeri Suriah menyatakan, pasukan pemerintah menggelar operasi penyisiran di Qadmous serta desa-desa sekitarnya di Provinsi Tartus. Tujuannya memburu sisa-sisa kelompok rezim Assad yang kerap melakukan gangguan keamanan dengan serangan-serangan sporadis mereka.
Kantor berita pemerintah Suriah SANA, mengutip sumber pejabat di Kementerian Pertahanan, melaporkan bentrokan masih berlangsung di Tanita, sebuah desa di Tartus, pada Minggu.
Samir Haidar (67), warga Baniyas, sebuah desa di Tartus, mengatakan kepada AFP dua saudara kandung dan keponakannya dibunuh oleh kelompok bersenjata yang memasuki rumah-rumah penduduk.
Meskipun dia seorang Alawi, Haidar merupakan penentang rezim Assad dan pernah dipenjara selama lebih dari 10 tahun saat rezim itu berkuasa.