Arsitek RS Virus Korona China yang Dibangun 10 Hari Ternyata Kelahiran Indonesia, Ini Sosoknya
JEMBER, iNews.id - Jagad maya dan pemneritaan media massa internasional pada akhir Januari 2020 dihebohkan dengan pembangunan rumah sakit (RS) di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, dalam 10 hari.
Tidak main-main, RS yang diperuntukkan bagi penderita virus korona itu bisa menampung 1.000 pasien.
Pemerintah China menghadapi kendala fasilitas medis untuk melayani para penderita virus korona. Di Kota Wuhan saja, pada akhir Januari ada sekitar 8.000 penderita virus korona, sementara daya tampung sekitar 60-an rumah sakit dan klinik rujukan sangat jauh untuk bisa menampung mereka.
Inilah yang mendasari otoritas China untuk membangun RS dalam waktu sangat singkat. Ada dua RS yang dibangun dan yan pertama, RS Huoshenshan, sudah beroperasi pada 3 Februari 2020.
Nah, tahukah Anda bahwa RS Huoshenshan merupakan karya arsitek kelahiran Indonesia bernama Huang Xiqiu (dibaca Huang Xi Jiu)?
Rumah sakit yang dibangun mulai 24 Januari 2020 itu berada di atas lahan seluas 269.000 meter persegi. Huoshenshan mengaplikasikan metode yang sama dengan RS untuk menampung penderita wabah sindrom pernapasan akut SARS di Beijing pada 2002.
Desain rumah sakit dibuat oleh Wuhan CITIC Design Institute and Constructed yang merupakan bagian dari perusahaan konstruksi China Construction Third Engineeing Bureau Co.Ltd.
Huang lahir di keluarga sederhana di Kabupaten Jember, Jawa Timur, dan mengenyam pendidikan SD dan SMP di sekolah Tionghoa, Chung Hua School.
Seorang pengusaha apotek di Jember yang meminta identitasnya tak disebutkan, mengatakan suaminya masih keponakan Huang.
Perempuan itu menambahkan, keluarga besarnya mengikuti terus kiprah Huang yang diberitakan sejumlah media China. Bahkan 3 tahun lalu pria 79 tahun itu singgah ke rumah keluarga besarnya di Jember.
Dia menegaskan bahwa Huang seorang arsitek yang pandai dan ahli di bidangnya.
Nmun tak banyak orang tahu bahwa Huang lahir di Jember. Ini karena dia meninggalkan kabulaten itu dan melanjutkan pendidikan SMA di Surabaya sejak 1957, kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di China.
Berdasarkan informasi dari tokoh sepuh Tionghoa di Jember, keluarga Huang pernah tinggal di kawasan pecinan di sekitar Tempean atau saat ini bernama Jalan Samanhudi di sekitar Pasar Tanjung Jember.
Sementara itu mantan guru Chung Hua School Jember, Chen Yong Yen atau biasa disapa Iwan Natawijdaja (81), mengetahui keluarga Huang saat dia menjadi guru di sana pada 1959 hingga sekolah itu ditutup pada 1966 akibat situasi politik Indonesia.
Chung Hua School merupakan sekolah Tionghoa terbesar yang didirikan di Jember dan berada di bawah naungan Tionghoa Hwee Koan.
Kurikulumnya dibuat sendiri yakni mengacu pada sistem China saat itu, berbeda dengan sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Jenjang pendidikannya dimulai dari taman kanak-kanak (yu er yen), pendidikan sekolah rendah (siao xie), hingga sekolah menengah pertama (chung xie).
Kedua adik Huang yakni perempuan dan laki-laki pernah menjadi siswa Iwan. Orangtua Huang pun sempat menjadi pengurus sekolah.
"Kedua adik Huang Xiqiu memang pandai saat sekolah dan keduanya juga mengikuti jejak kakaknya melanjutkan pendidikan di China," ucap mantan guru olahraga dan BP itu.
Kabar kepiawaian arsitek asal Jember itu juga menjadi perbincangan hangat di beberapa grup media sosial etnis Tionghoa di Jember, dan Iwan menunjukkan surat kabar berbahasa Mandarin terbitan 5 Februari 2020 yang menyuguhkan profil sang legendaris Huang Xiqiu, lulusan Chung Hua School Jember sebagai arsitek yang mendesain pembangunan RS khusus pasien Virus Korona di Wuhan.
“Dalam profil tersebut ditulis oleh teman Huang Xiqiu yang memberi kesan bahwa Huang Xiqiu merupakan sosok yang sederhana, rajin belajar, rendah hati, dan sopan, serta tidak terlalu banyak bicara," tuturnya.
Di surat kabar itu disebutkan, Huang punya prinsip bahwa ada banyak jalan menuju sukses dan kesuksesan itu ditentukan saat dia berada di SMP.
Berdasarkan informasi yang diterima Iwan dari beberapa media berbahasa mandarin, Huang tidak pernah menolak ditempatkan di mana saja dalam bekerja dan siap mendedikasikan waktu untuk misi kemanusiaan.
Editor: Anton Suhartono