Bila AS Menyerang Iran, What Next?

Perang atas Nama Dusta, Diplomasi Dikesampingkan
Iran sebenarnya sudah menunjukkan niat baik melalui penandatanganan JCPOA pada 2015 -kesepakatan internasional yang membatasi pengayaan uranium Iran secara ketat. Namun, kesepakatan ini dihancurkan secara sepihak oleh Presiden Trump pada 2018. Dunia seolah lupa bahwa diplomasi telah dicoba dan justru AS sendiri yang mencabutnya.
Lalu, atas dasar apa AS dan Israel kini ingin kembali menyerang Iran? Jawabannya sederhana: karena yang mereka kejar bukan denuklirisasi, melainkan regime change. Tujuan sebenarnya Israel dan Barat bukan denuklirisasi melainkan adalah perubahan rezim.
Barat tidak mau negara independen, apalagi yang mendukung Palestina sebagaimana yang diperankan Iran selama ini. Bila Trump benar memutuskan akan menyerang Iran -keputusannya paling lama 2 pekan atau 6 Juli 2025 ke depan- Publik dunia akan melihat bahwa standar ganda AS telah menjelma menjadi agresor baru dalam politik internasional: siapa yang sejalan didukung, siapa yang melawan digulingkan.
Dampak Ekonomi Global: Dunia dalam Risiko Tinggi
Konsekuensi perang ini tidak hanya berupa kehancuran fisik dan politik, tetapi juga instabilitas ekonomi global. Iran, sebagai salah satu penghasil minyak terbesar dunia, memegang peranan penting dalam rantai pasokan energi global.
Jika perang berkecamuk, blokade Selat Hormuz tidak dapat dihindari. Harga minyak bisa meroket hingga bahkan $150 per barel -saat ini 78 USD/barel- memicu inflasi global, krisis energi di Eropa dan Asia, serta memperburuk ketimpangan ekonomi global pasca-Covid.
Indonesia, sebagai negara net-importir minyak dan komoditas, juga akan terdampak keras. Saat ini harga batubara, emas, CPO sawit juga menunjukan tren yang meningkat. Subsidi energi akan membengkak, nilai tukar rupiah bisa tertekan, dan harga pangan bisa naik drastis.
Dunia yang dipimpin agresor tidak hanya menebar peluru, tetapi juga inflasi dan penderitaan ekonomi di belahan bumi yang tak punya andil dalam keputusan perang.