Erdogan Tak Ingin Turki Tersisih: Kami Bayangkan Masa Depan Bersama Eropa
ANKARA, iNews.id - Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengajak Uni Eropa berdialog. Dia juga memperingatkan organisasi perkumpulan negara-negara Eropa itu tidak menjadi alat permusuhan di tengah meningkatnya ketegangan di Mediterania timur.
Pengerahan kapal Turki untuk mencari sumber gas alam di perairan sengketa yang juga diklaim oleh Yunani itu memicu perang verbal sengit Erdogan dengan pemimpin negara-negara Eropa. Al hasil, Uni Eropa pada awal bulan ini memperpanjang sanksi terhadap Turki setahun lagi.
Bagian dari sanksi tersebut termasuk larangan visa dan pembekuan aset terhadap individu yang terlibat dalam eksplorasi gas di wilayah sengketa Mediterania.
"Kami berharap Uni Eropa menepati janjinya, tidak mendiskriminasi kami atau setidaknya tidak menjadi alat untuk membuka permusuhan yang menargetkan negara kami," kata Erdogan, dalam pidato kepada anggota Kongres partai berkuasa, seperti dilaporkan AFP, Sabtu (21/11/2020).
"Kami tidak melihat diri kami di tempat lain, kecuali Eropa. Kami membayangkan bisa membangun masa depan bersama dengan Eropa," ujarnya, menambahkan.
Pernyataan itu disampaikan Erdogan sebulan menjelang pertemuan para pemimpin Uni Eropa untuk menentukan apakak akan menjatuhkan sanksi lebih lanjut terkait aktivitas Turki di Mediterania atau tidak.
Turki pada Sabtu memastikan akan memperpanjang misinya di Mediterania timur hingga 29 November, meskipun ada protes dari Yunani.
Lebih lanjut Erdogan mengatakan, Turki ingin secara aktif memanfaatkan aliansinya dengan Amerika Serikat untuk mencari solusi bagi masalah di kawasan dan global.
Ini membuka peluang bahwa Erdogan ingin lebih dekat dengan pemerintahan Joe Biden, setelah sekutu dekatnya, Donald Trump, tersingkir dalam pilpres AS pada 3 November lalu.
Namun hubungan Turki dan AS diganjal dengan pembelian rudal pertahanan S-400 Rusia.
Langkah Turki itu membuat marah AS. Namun keputusan itu terpaksa diambil karena proposal pembelian rudal Patriot yang disampaikan pada masa pemerintahan Barack Obama ditolak.
Editor: Anton Suhartono