Menlu Retno: Perbedaan Diselesaikan di Meja Perundingan bukan Medan Perang
NEW YORK, iNews.id - Indonesia menekankan pentingnya solidaritas global daan tanggung jawab kolektif dalam menanganai permasalahan di dunia saat ini. Dunia saat ini berada di persimpangan jalan.
Seruan itu merupakan pesan inti Konferensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955 yang disampaikan kembali Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi di Sidang Majelis Umum (SMU) PBB di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Sabtu waktu setempat.
Melalui 10 Prinsip Bandung, lanjut Retno, Indonesia menyerukan kepada seluruh negara untuk menghormati Hak Asasi Manusia (HAM), Piagam PBB, kedaulatan dan integritas wilayah, kesetaraan, menyelesaikan konflik secara damai, serta mendorong peningkatan kerja sama dan kepentingan bersama.
“Bagi Indonesia, kepemimpinan global tidak hanya melulu tentang kekuasaan atau pengaruh untuk mendikte orang lain. Kepemimpinan global adalah tentang mendengarkan yang lain, menjadi bridge builder, menghormati hukum internasional secara konsisten, serta menghormati semua negara secara setara,” kata Retno, dalam pernyataannya.
Retno menegaskan, seperti terjadi pada 1955, situasi global saat ini tidak menentu. Kepercayaan dan solidaritas terus tergerus, rivalitas antar-negara terus menajam. Kondisi saat ini bahkan sampai pada menghalangi terpenuhinya target SDGs negara-negara berkembang.
"Apakah kita benar-benar memiliki komitmen untuk membangun kepercayaan dan berupaya mencapai SDGs? Apakah kehadiran kita di SMU PBB ini benar-benar menunjukkan kesiapan kita untuk bersatu dan menunaikan tanggung jawab bersama? Apakah kita benar-benar mau melakukan apa yang kita sampaikan (walk the talk)?" tuturnya.
Indonesia, lanjut Retno, menawarkan tiga strategi untuk membangun kembali kepercayaan dunia serta menghidupkan kembali solidaritas global.
Strategi pertama, kata Retno, Indonesia mendesak kepemimpinan kolektif global.
“Nasib dunia tidak boleh ditentukan oleh segelintir pihak/negara," ujarnya.