Presiden Filipina Duterte Siap Dipenjara atas Kematian Ribuan Orang terkait Kasus Narkoba
MANILA, iNews.id - Presiden Filipina Rodrigo Duterte siap bertanggung jawab terkait operasi pemberantasan narkoba yang merenggut ribuanya nyawa sejak dirinya terpilih pada 2016.
Dia juga menegaskan siap menghadapi dakwaan, asal bukan kejahatan terhadap kemanusiaan, meskipun bisa membuatnya dipenjara.
"Jika ada pembunuhan di sana, saya ingin mengatakan saya adalah orangnya. Anda bisa meminta pertanggungjawaban saya atas apa pun, kematian apa pun yang terkait perang terhadap narkoba," kata Duterte, dalam pidato yang disiarkan televisi, seperti dilaporkan kembali Associated Press, Selasa (20/10/2020).
Ini merupakan pengakuan Duterte paling jelas terkait kematian hampir 6.000 orang sejak kampanye memerangi kejahatan narkoba di pertengahan 2016.
"Jika Anda terbunuh, itu karena saya marah dengan narkoba. Jika itu yang saya katakan, bawa saya ke pengadilan untuk dipenjara. Oke, saya tidak masalah, jika saya mengabdi untuk negara dengan masuk penjara, dengan senang hati," tuturnya.
Dia menegaskan, narkoba merupakan ancaman keamanan nasional dan publik, sama halnya dengan pemberontakan yang dilakukan komunis selama puluhan tahun.
“Jika ini dibiarkan terus menerus dan tidak ada tindakan tegas yang diambil, itu bisa membahayakan keamanan negara,” ujarnya.
Menurut Duterte, mengutip data statistik badan anti-narkoba, saat ini ada 1,6 juta pecandu di Filipina. Angka tersebut jauh lebih kecil dibandingkan saat dia baru menjabat presiden, yakni 4 juta orang.
Sementara itu bersarkan laporan polisi, sedikitnya 5.856 tersangka narkoba tewas dalam penggerebekan serta lebih dari 256.000 lainnya ditangkap.
Duterte mengatakan, tewasnya pelaku kejahatan narkoba selama operasi polisi bukan sepenuhnya kesalahan pemerintah. Pasalnya ada kemungkinan kematian itu dipicu persaingan antargeng.
Setidaknya ada dua tuntutan kejahatan terhadap kemanusiaan serta pembunuhan massal terkait perang terhadap kejahatan narkoba yang digulirkan Duterte. Kasus ini ini sedang diperiksa jaksa dari Pengadilan Kriminal Internasional (ICC). Hasilnya akan menentukan apakah ada cukup bukti untuk menggelar penyelidikan dalam skala penuh.
Duterte merespons tuntutan itu dengan menarik Filipina keluar dari keanggotaan pengadilan kriminal pada 2018, sebuah langkah yang menurut kelompok HAM sebagai kemunduran besar dalam perjuangan negara melawan impunitas.
Namun jaksa ICC menegaskan, penyelidikan kasus ini akan terus berlanjut meskipun Filipina menarik diri.
Editor: Anton Suhartono