Mengenal Salak Condet, Maskot DKI Jakarta yang Terlupakan
Setelah kemerdekaan, Condet terus tumbuh menjadi kawasan penghasil buah terutama salak dan duku yang dikelola oleh masyarakat asli Jakarta yaitu Betawi. Bahkan hasil bumi dari Condet ini bersama produk buah nusantara lainnya disuguhkan kepada para tamu di era Presiden Sukarno.
Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1974 menetapkan kawasan yang terdiri atas Kelurahan Balekambang, Batu Ampar, dan Kampung Tengah sebagai cagar budaya melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta No. D.IV-1V-115/e/3/1974. Ali Sadikin bahkan menetapkan Condet sebagai cagar buah-buahan.
Pada puncak kejayaannya tahun 1970-an, produksi Salak Condet mencapai 285,7 ton dari dua kali masa panen terutama di bulan Desember. Panen sebesar itu didapat dari 1.656.600 rumpun pohon salak yang tumbuh di atas lahan seluas total 300 hektare.
Buah warna cokelat dengan kulit bersisik serta sedikit duri tipis dijual penduduk ke sentra buah Pasar Minggu yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari Condet. Buah-buahan itu dibawa melewati aliran Sungai Ciliwung dengan perahu dari bambu.
Upaya Pelestarian
Dibangunnya Jalan Raya Condet mengakibatkan terkikisnya kawasan hijau di Condet. Penyebabnya tak lain yaitu arus urbanisasi. Para pendatang banyak yang membeli lahan hijau di kawasan Condet dan mengubahnya menjadi permukiman. Akibatnya masyarakat Betawi yang menempati Condet lama-lama tersisihkan hingga status cagar budaya dicabut pada tahun 2004.
Arus urbanisasi juga mengikis keberadaan Salak Condet. Buah dengan ciri-ciri memiliki rasa asam dan manis dalam satu rumpun buah serta berdaging tebal itu semakin langka seiring dengan perginya masyarakat Betawi.