Sejarah Wilayah Tambora Jakbar dan Kisah Perjuangan 2 Ulama Melawan Belanda di Batavia
Anggota Seksi Pendidikan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Masjid Tambora, Muhammad Zubaedi Sumarna menuturkan setelah masjid berdiri, pergerakan KH Moestojib dan Ki Daeng masih juga diawasi tentara NICA.
“Dulu mereka (kompeni Belanda) selalu membawa kapal dan mencari-cari KH Moestojib dan Ki Daeng di masjid ini. Tapi, mereka berdua selalu tak ditemukan,” ujar pria yang akrab disapa Bang Didi ini dikutip dari senibudayabetawi.com.
Ternyata keduanya bersembunyi di balik kubah masjid. Mereka kerap mengintai kalau ada tentara Belanda datang. Menurut Bang Didi, tempat persembunyian di balik kubah itu memiliki tangga penghubung langsung dari bawah. Namun, setelah renovasi tangga di bawah dihilangkan.
Sebagai bentuk penghormatan, dua makam KH Moestojib dan Ki Daeng diletakkan di depan Masjid Tambora. Dua pendiri masjid ini meninggal sekitar 1836.

Perjuangan KH Moestojib dan Ki Daeng dilanjutkan Imam Saiddin. Setelah itu terjadi beberapa kali pergantian pimpinan. Terakhir pada 1370 H (1950 M) di mana pimpinan dipegang oleh Madsupi dan kawan-kawan di Gang Tambora.
Tahun 1945, masjid itu sempat dijadikan markas perjuangan hingga pernah diserang tentara NICA. Kemudian, perawatan dan perlindungan masjid diteruskan Yayasan Masjid Jami Tambora yang dipimpin Haji Memed (1959).
Berdasarkan data kependudukan pada 2020, penduduk di Kecamatan Tambora berjumlah 241.889 jiwa dengan kepadatan penduduk 44.794 jiwa/km persegi. Ada 11 kelurahan di Kecamatan Tambora yakni Tanah Sareal, Tambora, Roa Malaka, Pekojan, Jembatan Lima, Krendang, Duri Utara, Duri Selatan, Kali Anyar, Jembatan Besi, dan Angke.
Editor: Rizal Bomantama