Arah Kebijakan Luar Negeri AS dan Dampak Global yang Ditimbulkan

Dave Akbarshah Fikarno
Anggota Komisi I DPR
KONFERENSI Tingkat Tinggi (KTT) G20 di Osaka, Jepang, telah berakhir pada Sabtu, 27 Juni 2019 lalu. Sejumlah isu-isu global yang tengah mengemuka dibahas oleh negara-negara peserta, antara lain target pembangunan berkelanjutan, perdagangan bebas, pemberdayaan perempuan, perubahan iklim, dan isu lingkungan hidup.
Namun, tak dapat dimungkiri lampu sorot utama mengarah pada pertemuan bilateral antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. Kedua raksasa terbesar ekonomi dunia tersebut berhasil mencapai terobosan baru terkait rivalitas perang dagang yang memanas sejak setahun terakhir ini. Baik Trump maupun Jinping bersepakat untuk melakukan negosiasi ulang terkait kebijakan perdagangan kedua belah pihak yang telah mengakibatkan efek domino pada ekonomi global.
Dalam forum tersebut, Trump menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan teknologi Negeri Paman Sam dapat kembali menjalin kerja samanya dengan raksasa teknologi China, Huawei, dan secara efektif membatalkan larangan yang diberlakukan pada bulan lalu oleh Departemen Perdagangan AS. Trump juga menegaskan bahwa AS tidak akan lagi menambahkan tarif impor terhadap produk-produk China.
Trump berujar bahwa untuk saat ini, Washington bakal terus bernegosiasi dengan Beijing. Hasil kesepakatan AS dengan China ini sungguh melegakan. Meski perang dagang belum usai, setidaknya kontraksinya dapat diredakan untuk sementara waktu.
Pertemuan Bersejarah AS-Korut
Kebijakan luar negeri AS dengan pendekatan lunak juga berlanjut selepas KTT G20 di Osaka, Jepang. Melalui cuitan Twitter-nya, Donald Trump mengatakan akan berada di Korea Selatan dan ingin menyapa Pemimpin Tertinggi Korea Utara, Kim Jong-un di perbatasan Korut. Di luar dugaan, Kim menyanggupi undangan perjumpaan dengan Trump yang terwujud pada Senin, 1 Juli lalu.
Pertemuan bersejarah Trump dengan Kim di zona demiliterisasi (DMZ) tersebut disambut dengan hangat. Trump menjadi Presiden pertama AS menginjakkan kaki di negara yang mengisolasi diri selama puluhan tahun itu. Kim dan Trump pun sepakat untuk membentuk tim khusus guna melanjutkan perundingan denuklirisasi di Hanoi, Vietnam pada Februari lalu, yang sempat buntu dan tidak menghasilkan kesepakatan apa pun.
Presiden Korea Selatan Moon Jae-in bahkan menyebut pertemuan Trump-Kim di wilayah perbatasan Korsel-Korut ini sebagai ‘hasil imajinasi di luar akal sehat’. Moon yang menjadi penyambung pesan antara Trump dengan Kim memang pantas untuk bersuka cita atas kemajuan perundingan nuklir Korut. Secara bertahap hal ini akan berdampak pada semakin membaiknya situasi politik antara dua negara satu rumpun di semenanjung Korea tersebut.
AS Ubah Arah Diplomasinya
Diplomasi AS yang kini lebih mengedepankan proses dialog secara beradab yang dilakukan kepada China maupun Korut ini sejatinya menguntungkan semua pihak, termasuk AS. Setidaknya ada beberapa poin penting di balik melunaknya tensi politik AS dengan sejumlah negara yang dianggap oponennya selama ini.
Pertama, keputusan kontroversial AS yang memboikot kerja sama dengan Huawei yang merupakan perusahaan raksasa teknologi informasi asal China dengan dalih isu keamanan telah menyebabkan efek domino yang justru merugikan AS sendiri.
Pemutusan hubungan bisnis dengan Huawei tersebut membuat angka penjualan sejumlah perusahaan teknologi AS, seperti Google, Intel, hingga Qualcomm menurun. Padahal, pada 2018 lalu, nilai transaksi pembelian Huawei berupa komponen seperti chip, prosesor, hingga software dari 30 perusahaan di AS telah mencapai angka 11 miliar dolar AS.