Covid-19: Pandemi Media Sosial
Poppy Ruliana
Akademisi, Pemerhati Sosial
DALAM beberapa bulan setelah munculnya novel coronavirus disiase atau Covid-19 di China yang menyebar ke negara lain, termasuk Indonesia, desas-desus menyesatkan dan teori konspirasi tentang asal-usul beredar di dunia. Rumor itu dipasangkan dengan ketakutan, rasisme, dan pembelian massal masker wajah, yang semuanya terkait erat dengan ekosistem "infomedia" baru dari abad ke-21 ditandai oleh media sosial.
Keunikan yang mencolok dari krisis ini adalah kebetulan dan viralitas secara virologi: tidak hanya virus itu sendiri yang menyebar dengan sangat cepat, tetapi juga informasi yang salah tentang wabah, sehingga menciptakan kepanikan di dalam masyarakat.
Kepanikan media sosial berakselerasi lebih cepat daripada penyebaran Covid-19. Informasi yang menyebar melalui media sosial dan tradisional, serta melalui lembaga pemerintah atau kesehatan, telah mencapai skala yang sangat besar, yang tentunya belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah manusia. Hitungan kematian diikuti dengan cermat ketika naik, setidaknya untuk saat ini. Gambar dan cerita karantina ada di mana-mana. Akibatnya, risiko kesehatan dari epidemi ini dibingkai sebagai menakutkan dan tidak terkendali, yang berkontribusi pada epidemi ketakutan.
Hal senada dikemukakan oleh Direktur Pusat Kedokteran Tropis UGM, Riris Andono Ahmad yang mengatakan bahwa salah satu tantangan dalam upaya pengendalian penyakit menular adalah peredaran informasi melalui media massa ataupun media sosial yang justru menimbulkan kepanikan di masyaraka dewasa ini. Epidemi kepanikan di media sosial lebih cepat menyebar daripada epidemi penyakit (dalam laman web Kagama.co, 22 Maret 2020).
Dilansir Channel News Asia, dalam sebuah analisis tentang bagaimana penyebaran informasi yang salah dapat mempengaruhi penyebaran penyakit, para ilmuwan di East Anglia University (UEA) Inggris mengatakan bahwa setiap upaya yang berhasil menghentikan orang membagikan berita palsu dapat membantu menyelamatkan nyawa.
Paul Hunter, seorang profesor UEA mengemukakan "ketika berbicara tentang Covid-19, ada banyak spekulasi, informasi yang salah dan berita palsu yang beredar di internet - tentang bagaimana virus itu berasal, apa yang menyebabkannya dan bagaimana penyebarannya, informasi yang salah berarti bahwa saran buruk dapat beredar dengan sangat cepat - dan itu dapat mengubah perilaku manusia untuk mengambil risiko yang lebih besar”.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Michael McCauley, Sara Minsky & Kasisomayajula Viswanath, 2013 menunjukkan bahwa terlalu banyak informasi, tidak seimbang atau disaring, berbahaya dan mengaburkan keputusan terkait kesehatan yang baik. Selanjutnya hasil studi menunjukkan bahwa cakupan peliputan Covid-19 lebih masif dibanding Ebola.
Tingginya intensitas peliputan Covid-19 ini lantaran perjangkitannya yang cepat dan memakan banyak korban. Per 21 Februari 2020 kasus perjangkitan Covid-19 hanya terdapat di 29 negara. Namun dalam jangka waktu seminggu, penyakit ini telah menyebar ke 61 negara. Total kasus lebih dari 100.000 dan kematian lebih dari 3000, melampaui angka kematian akibat SARS.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyebut ini pertempuran melawan "troll and conspiracy theories". Menurut Tedros, informasi yang salah menyebabkan kebingungan dan menyebarkan ketakutan sehingga menghambat respons terhadap wabah. "Misinformation about the corona virus is perhaps the most contagious thing about it,".
Hasil penelitian Hunter menunjukkan bahwa memperhitungkan bagaimana rendahnya kepercayaan publik pada pihak berwenang terkait dengan kecenderungan untuk percaya teori konspirasi, dan bagaimana orang berinteraksi dalam gelembung informasi online.