Di Mana dan ke Mana Pendidikan Kita?
Jumlah sekolah swasta yang lebih banyak dibandingkan negeri menunjukan andil masyarakat begitu besar dalam pembangunan pendidikan ini, hanya saja operasional yang mandiri inilah membuat biaya pendidikan menjadi sangat dilematis dalam pelaksanaanya. BOS dan bantuan lain dari pemerintah nyatanya tidak menghilangkan pungutan sumbangan pendidikan atau biaya-biaya lain yang cukup memberatkan bagi sebagai kalangan. Jargon pendidikan gratis pun tidak lagi faktual.
Kualitas pengajaran dan distribusi guru
Lalu bagaimana dengan kualitas pengajaran dan pembelajaran kita sebenarnya? Faktanya penerapan kurikulum yang berbeda dalam satu masa pembelajaran selama ini membuat kita sulit untuk mengukur sebetulnya seperti apa hasil dari capaian pembelajaran. Seperti diketahui, dalam beberapa tahun terakhir setiap sekolah menerapkan kurikulum yang berbeda. Implementasi kurikulum merdeka dilaksanakan secara bertahap berdasarkan kesiapan satuan pendidikan/daerah. Ironisnya hasil evaluasi menunjukkan banyak guru belum sepenuhnya memanfaatkan platform merdeka mengajar secara mandiri. Kurukulum yang adaptif dengan era digital ini, juga tidak didukung sarpras memadai, sehingga akhirnya platform itu belum menjadi kebutuhan guru. Hal itu mengingatkan kita pada perkataan lama, mau sebagus apa pun kurikulumnya kalau fasilitas sekolah belum memadai maka kurikulum itu mungkin kurang optimal, dan jika dikaitkan dengan Kurikulum Merdeka, pernyataan tersebut sangat relevan.
Saat implementasi yang belum maksimal itu, belakangan keluar aturan jika kurikulum merdeka disiapkan menjadi kurikulum nasional dengan harapan dapat mewujudkan transformasi pendidikan berkualitas. Sayangnya komitmen ini digongkan bukan di awal masa kepemimpinan, namun justru di tahun terakhir kerja sebagai pembantu presiden, padahal kita selalu dihadapkan pada pemeo “ganti menteri ganti kurikulum”. Pertanyaan yang kemudian muncul apakah ini akan berlanjut? Jika berkaca dari implementasinya, bukan tidak mungkin Kurikulum Merdeka akan berubah kembali saat menterinya berganti termasuk program-program di dalamnya.
Distribusi guru menjadi masalah pelik. Desentralisasi kewenangan dengan kondisi daerah dan politiknya yang beragam membuat masalah ini akut, belum lagi ada dua kementerian yang menjadi sentral mengurusi pendidikan, membuat persoalan pemenuhan guru menjadi semakin kompleks. Terlalu banyak tenaga honorer dengan pengangkatan tanpa kualifikasi yang jelas juga jadi bom waktu. Kemudian perlakuan yang berbeda bagi guru di lingkungan Kementerian Agama dan Kemendikbudristekdikti juga menjadi soal tersendiri. Padahal manusia yang diajar sama yakni anak-anak Indonesia, namun perlakuan pada gurunya berbeda. Lambat laun hal ini tentu berujung pada pertaruhan mutu pendidikan. Disparitas guru dan sekolah antarwilayah di Indonesia adalah persoalan besar harus serius ditangani, tidak cukup hanya dengan lobi-lobi anggaran di Senayan atau pertemuan Zoom dan webinar dari ruangan di Jalan Sudirman yang biaya rehabnya sampai Rp6,5 miliar.
Budaya belajar dan mengajar
Kita sudah melewati masa krisis saat pandemi Covid-19, namun harus diingat kita sekarang masuk pada serangan penyakit baru bawaan dari pandemi. Pendidikan kita dihantui isu etos kerja pendidik dan budaya belajar peserta didik. Pandemi yang mendorong percepatan digital tidak diikuti peningkatan literasi digital. Lambat laun orang berpikir tidak perlu lagi berangkat ke sekolah, cukup di rumah. Praktik ini sudah terjadi di pendidikan tinggi, saat dosen harus hadir di kelas, mahasiswa cukup membuka gawainnya sambil ngopi di kafe atau cukup di kamar tidur saja, belajar sambal rebahan itu terjadi.
Digitalisasi adalah keniscayaan termasuk dalam pendidikan. Tetapi yang penting bukan soal alat, melainkan bagaimana pola pikir digital itu dibentuk. Pendidikan adalah upaya membina dan mengembangkan daya cipta, karsa, dan rasa manusia menuju ke peradaban manusia yang lebih luas dan tinggi yaitu manusia yang berbudaya. Dengan begitu, pendidikan tidak hanya bicara aspek kecerdasan, tetapi juga aspek sosial emosional dan kecerdasan spritual yang dapat meningkatkan ketajaman pikiran. Di tengah gempuran media sosial, jika tidak dibarengi dengan penguatan budaya belajar dan mengajar, bukan tidak mungkin guru dan murid hanya asyik tiktokan. Jika sudah demikian, jangankan Indonesia Emas, “perunggu” pun susah digapai.
Pada gilirannya, dari semua pekerjaan rumah pendidikan kita, ujungnya bermuara pada siapa yang menjadi guru dalam sistem pendidikan kita. Saat kurikulum gonta-ganti, di tangan guru kompeten kurikulum itu akan “dihidupkan”, saat sarana masih terbatas, di tangan guru yang inovatif alam pun dapat menjadi tempat belajar menyenangkan. Guru yang sehat lahir dan batin, yang gembira saat mengajar akan selalu siap melayani, menjadi pelita dalam gelap bagi anak-anak di penjuru negeri. Namun jika fakta banyak guru yang terjerat pinjol, depresi karena dikejar-kejar debt collector, saat dosennya digaji di bawah UMR hingga harus cari kerjaan sampingan, bisakah mereka menyalakan pendidikan? Tentunya tidak, karena kehidupan mereka sendiri redup dan hampir padam. Di sinilah kita penting untuk menjadikan momentum Hari Pendidikan Nasional yang kita peringati setiap 2 Mei ini benar-benar membuka pikiran dan hati nurani. Sudahkan pendidikan ini berjalan dalam kesejahteraan? Jika belum maka harus kita akui dan para pengambil kebijakan, pemangku kewenangan membuka diri, bersinergi dengan rakyat yang secara nyata punya andil besar dalam menyalakan pelita pendidikan untuk membuat rencana-rencana ke depan yang bisa diimplementasikan di lapangan. Jangan sampai kita baru sadar ada masalah ketika viral di media sosial saja. ***
Editor: Ahmad Islamy Jamil