Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Purbaya Siapkan TKD Rp43,8 Triliun untuk Daerah Terdampak Bencana di 2026
Advertisement . Scroll to see content

Eksekusi Pengosongan Objek Hak Tanggungan yang telah Dilelang Kewenangan Siapa?

Senin, 10 Juni 2024 - 16:10:00 WIB
Eksekusi Pengosongan Objek Hak Tanggungan yang telah Dilelang Kewenangan Siapa?
Pengosongan rumah (Ilustrasi/Freepik)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id - Sertifikat rumah menjadi salah satu yang paling umum dimanfaatkan sebagai jaminan untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Risikonya jika tidak mampu membayar angsuran, rumah bisa dilelang pihak bank. 

Kondisi seperti ini sedang dialami pembaca iNews.id. Gara-gara tidak mampu membayar, rumahnya dalam proses lelang. Pihak bank juga telah meminta agar rumah yang ditempati untuk segera dikosongkan.

Berikut pertanyaan lengkapnya: 

Surat rumah diagunkan di BPR karena tidak mampu bayar, rumah saat ini dalam proses lelang. Pihak bank ingin agar rumah segara dikosongkan. Pertanyaan saya, apakah pengosongan rumah sudah menjadi wewenang dari BPR atau wewenang balai lelang? Pihak BPR meminta pengosongan tanpa surat apa pun. Mohon jawabannya karena saya sedang hadapi masalah ini sekarang. 

Terima kasih

Yenni 

Kami telah menyampaikan pertanyaan pembaca iNews.id kepada Slamet Yuono, S.H., M.H (Partner pada Kantor Hukum Sembilan Sembilan Rekan)

Berikut jawaban dan penjelasannya:

Kami mengucapkan terima kasih atas pertanyaan dari Saudari Yenni melalui iNews Litigasi. Kami turut prihatin atas kejadian yang menimpa Saudari. Semoga nantinya ditemukan solusi yang terbaik atas permasalahan yang Saudari hadapi. 

Kami mencoba membantu memberikan pandangan, tentunya didasarkan pada pengalaman dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

I. Pinjaman dengan Agunan/Jaminan Sertifikat Rumah

Kami menganggap perjanjian pinjam-meminjam antara Saudari dengan BPR telah terjadi dengan jaminan berupa sebidang tanah beserta bangunan rumah yang melekat di atasnya. Dibuktikan dengan adanya sertifikat kepemilikan atas tanah dan rumah dimaksud.

Dalam perjanjian pinjam-meminjam antara saudari dengan pihak BPR, tentunya diikuti juga dengan pembebanan hak tanggungan. Mengenai hak tanggungan atas jaminan/agunan ini awali dengan adanya penandatanganan SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan). Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UUHT), ditegaskan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau PPAT dan memenuhi persyaratan sebegai berikut: 

a. Tidak membuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan hak tanggungan;

b. Tidak membuat kuasa substitusi;

c. Mencantumkan secara jelas objek hak tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi hak tanggungan.

Selanjutnya atas SKMHT (Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan) tersebut diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 10 ayat (2) UUHT. 

Saudari perlu mencermati, apakah terhadap objek jaminan/agunan telah diikuti dengan pembuatan SKMHT dan APHT. Hal yang perlu diperhatikan di sini antara lain:

1. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan. (Pasal 15 ayat (3) UUHT)

2. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan. (Pasal 15 ayat (4) UUHT)

3. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak iikuti dengan pembuatan Akta Pembebanan Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) Batal Demi Hukum. (Pasal 15 ayat (6) UUHT)

Kemudian, sebagai bukti adanya hak tanggungan atas objek jaminan berupa tanah beserta segala sesuatu yang melekat di atasnya, maka kantor pertanahan akan menerbitkan sertifikat hak tanggungan (selanjutnya disebut SHT). Mengenai SHT ini diatur di dalam Pasal 14 ayat (1) s/d (5) UUHT yang menyatakan:

(1) Sebagai tanda bukti adanya hak tanggungan, kantor pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".

(3) Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.

(4) Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

(5) Sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan.

Yang perlu menjadi perhatian adalah jika ternyata perjanjian utang piutang tanpa diikuti dengan pembuatan SKMHT dan APHT atau ternyata SKMT Batal Demi Hukum karena tidak diikuti dengan pembuatan APHT, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (6) UUHT. 

Maka, pihak BPR/Kreditor tidak bisa serta merta mengajukan permohonan pelelangan dan pengosongan atas objek jaminan karena pihak BPR terlebih dahulu harus mengajukan gugatan wanprestasi melalui pengadilan negeri yang berwenang. Hal ini akan memakan waktu yang sangat lama, biaya yang tidak sedikit, tenaga dan pikiran. Karena itu, ada baiknya kreditor dan debitor mencari solusi yang terbaik dalam hal ini.

II. Wewenang Eksekusi Lelang atas Objek Hak Tanggungan

Ada 3 (tiga) cara untuk melakukan eksekusi lelang terhadap objek hak tanggungan, antara lain:

1. Pelelangan Umum atas Perintah Ketua Pengadilan Negeri

Dasar hukum dilakukannya eksekusi lelang terhadap objek hak tanggungan atas perintah ketua pengadilan negeri adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) dan (3) Jo. Pasal 20 ayat (1) huruf.b UUHT yang berbunyi:

• Pasal 14 ayat (2) dan (3) UUHT:

Ayat (2) berbunyi: "Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"."

Ayat (3) berbunyi: "Sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah."

• Pasal 20 ayat (1) huruf b UUHT:  

"(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan: titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), objek hak tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang hak tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya."

Dalam hal lelang telah diperintahkan oleh ketua pengadilan negeri, maka lelang tersebut hanya dapat ditangguhkan oleh ketua pengadilan negeri dan tidak dapat ditangguhkan dengan alasan apa pun oleh pejabat instansi lain. Sebab, lelang yang diperintahkan oleh ketua pengadilan negeri dan dilaksanakan oleh Kantor Lelang Negara adalah dalam rangka eksekusi dan bukan merupakan putusan dari Kantor Lelang Negara (pedoman Teknis Administrasi dan teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, buku II, edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Huruf AG. Eksekusi Hak Tanggungan, angka 13, Halaman 92)

2. Pelelangan Berdasarkan Pasal 6 UUHT 

Eksekusi lelang atas objek hak tanggungan selanjutnya dapat dilakukan oleh pemegang hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT yang berbunyi:

• Pasal 6 UUHT:
"Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut".

• Pasal 20 UUHT: 
"(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan: a. Hak pemegang hak tanggungan pertama untuk menjual objek hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau

Jika eksekusi lelang yang dilakukan oleh kreditor menggunakan dasar hukum Pasal 6 Jo. Pasal 20 ayat (1) huruf a UUHT, maka apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan berhak untuk menjual objek hak tanggungan melalui pelelangan umum tanpa memerlukan persetujuan lagi dari pemberi hak tanggungan.

Tetapi yang perlu diperhatikan dalam eksekusi lelang berdasarkan Pasal 6 UUHT agar kreditor menghindari untuk berbuat sewenang-wenang dengan menjual objek hak tanggungan jauh di bawah harga yang semestinya. Tentunya hal ini merugikan debitor.

Dalam eksekusi lelang objek hak tanggungan, sepatutnya kreditor menjual dengan harga yang pantas dan wajar. Dengan demikian, jika tidak ada kreditor-kreditor lainya, maka sisa hasil penjualan yang merupakan hak dari pemberi hak tanggungan dapat diterima dan dimanfaatkan oleh pemberi hak tanggungan. Hal ini sejalan dengan penjelasan dari Pasal 6 UUHT.

3. Penjualan di Bawah Tangan

Selanjutnya eksekusi lelang hak tanggungan yang ke-3 adalah dilaksanakan di bawah tangan. Hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) UUHT yang berbunyi:

"Atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan, penjualan objek hak tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak."

Selanjutnya di dalam Penjelasan atas Pasal 20 ayat (2) diuraikan: 

"Dalam hal penjualan melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, dengan menyimpang dari prinsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi kemungkinan melakukan eksekusi melalui penjualan di bawah tangan, asalkan hal tersebut disepakati oleh pemberi dan pemegang hak tanggungan, dan syarat yang ditentukan pada ayat (3) dipenuhi. Kemungkinan ini dimaksudkan untuk mempercepat penjualan objek hak tanggungan dengan harga penjualan tertinggi."

Alternatif eksekusi lelang melalui penjualan di bawah tangan ini tentunya atas kesepakatan pemberi dan pemegang hak tanggungan dengan harapan masing-masing memiliki niat baik untuk menjual objek hak tanggungan dengan harapan diperoleh harga tertinggi sehingga sisa dari penjualan jika tidak ada kreditor-kreditor lain maka akan menjadi hak dari pemberi hak tanggungan.

Eksekusi lelang melalui penjualan di bawah tangan ini sangat disarankan karena akan menghemat waktu, biaya tenaga dan pikiran dari kreditor dan debitor. Hal ini mengingat masih ada tahap selanjutnya jika eksekusi lelang telah dilakukan tetapi terlelang tidak mau mengosongkan objek secara sukarela. Langkah tersebut adalah eksekusi pengosongan objek yang telah dilelang. 

III. Eksekusi Pengosongan atas Perintah Ketua Pengadilan Negeri

Dalam praktiknya, pihak terlelang enggan meninggalkan objek hak tanggungan yang telah dilelang. Banyak faktor yang menyebabkan hal ini. Salah satunya adalah ternyata objek hak tanggungan dijual jauh di bawah harga yang semestinya sehingga timbul keengganan dari terlelang untuk meninggalkan atau keluar dari objek hak tanggungan.

Hal ini akan menjadi berbeda jika ada kesepakatan untuk menjual di bawah tangan dengan harga tertinggi atau pada saat eksekusi lelang dimaksimalkan dengan harga tertinggi. Tentunya jika langkah ini diambil, maka debitor akan dengan sukarela meninggalkan objek hak tanggungan.

Tetapi jika ternyata terlelang tidak mau meninggalkan objek yang telah dilelang, maka berlakulah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 200 (11) HIR (Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, buku II, edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Huruf AG Eksekusi Hak Tanggungan, angka 11, halaman 92).

Pasal 200 (11) HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement))/Reglemen Indonesia Yang Diperbarui berbunyi:

"Jika seseorang enggan meninggalkan barang tetapnya yang dijual, maka ketua pengadilan negeri akan membuat surat perintah kepada orang yang berwenang untuk menjalankan surat juru sita dengan bantuan panitera pengadilan negeri atau seorang pegawai bangsa Eropa yang ditunjuk oleh ketua. Jika perlu dengan bantuan polisi supaya barang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang yang dijual barangnya serta oleh sanak saudaranya. (Rv. 526, 1033.)

Eksekusi pengosongan yang dilakukan atas perintah ketua pengadilan negeri dilakukan atas permintaan/permohonan dari pihak pemenang lelang. Tentunya hal ini merupakan langkah terakhir jika antara debitor, kreditor dan pemenang lelang tidak terdapat titik temu terhadap pengosongan secara sukarela atas objek yang telah dilelang.

Berdasarkan penjelasan dan dasar hukum sebagaimana diuraikan di atas, maka eksekusi pengosongan dilakukan hanya dengan dua (2) cara, yaitu pengosongan secara sukarela atau atas perintah ketua pengadilan negeri.

Demikian jawaban dan pandangan dari kami Kantor Hukum Sembilan Sembilan dan Rekan terkait dengan pertanyaan yang telah saudari sampaikan melalui iNews Litigasi. Semoga bermanfaat khususnya bagi penanya, serta masyarakat pada umumnya.

Jakarta, 10 Juni 2024

Hormat kami, 

Slamet Yuono, SH., MH
Partner Kantor Hukum Sembilan Sembilan dan Rekan

Dasar Hukum: 
1. UU No 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
2. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglement))/Reglemen Indonesia Yang Diperbarui.
3. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, buku II, edisi 2007, Mahkamah Agung RI. 

Tentang iNews Litigasi

iNews Litigasi adalah rubrik di iNews.id untuk tanya jawab dan konsultasi permasalahan hukum. Pembaca bisa mengirimkan pertanyaan apa saja terkait masalah hukum yang akan dijawab dan dibahas tuntas para pakar di bidangnya.

Masalah hukum perdata di antaranya perebutan hak asuh anak, pencemaran nama baik, utang piutang, pembagian warisan, sengketa lahan tanah, sengketa kepemilikan barang atau jual-beli, wanprestasi, pelanggaran hak paten, dll. Selain itu juga hukum pidana perdata antara lain kasus penipuan, pengemplangan pajak, pemalsuan dokumen, pemerasan, dll. Begitu pula kasus-kasus UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE) dll.

Editor: Maria Christina

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut