Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Respons Purbaya Disebut Bahlil Salah Baca Data Harga Elpiji 3 Kg
Advertisement . Scroll to see content

Gas Melon: Ketika Subsidi Tak Sampai, Harga Mencekik Emak-Emak!

Selasa, 07 Oktober 2025 - 09:01:00 WIB
Gas Melon: Ketika Subsidi Tak Sampai, Harga Mencekik Emak-Emak!
Didi Irawadi Syamsuddin, S.H., LL.M. (Foto: Dok Pribadi)
Advertisement . Scroll to see content

Didi Irawadi Syamsuddin
Pengacara, Anggota DPR 3 Periode (2009-2024) 

HARGA tabung gas melon 3 kg adalah potret kecil dari masalah besar: tata kelola subsidi yang bocor, distribusi yang tak terkendali, dan pengawasan yang lemah. 

Secara resmi, pemerintah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) Rp12.750 per tabung. Tapi di lapangan, warga, utamanya emak-emak harus merogoh kocek Rp30.000 hingga Rp50.000. Di dapur rakyat kecil, inilah bentuk “inflasi terselubung” yang lebih menyakitkan daripada angka di tabel statistik.

Dalam kondisi seperti itu, pernyataan Menteri Purbaya Yudhi Sadewa tentang harga keekonomian elpiji melon—sekitar Rp42.000 sebelum subsidi—adalah alarm penting. Bukan sekadar debat metodologi dengan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia, melainkan ajakan agar pemerintah serius membenahi data, menghentikan permainan, dan jujur soal beban subsidi. Suara Purbaya adalah suara akal sehat: rakyat perlu transparansi, bukan angka yang disamarkan.

Masalah utama ada di hilir: distribusi. Selama bertahun-tahun, tiga penyakit menghantui tabung melon. Pertama, subsidi bocor ke kelompok yang tidak berhak, termasuk usaha menengah dan industri. Kedua, rantai distribusi panjang membuka ruang markup berlapis-lapis, dari agen hingga pengecer. Ketiga, praktik mafia—penimbunan, oplosan, dan penguasaan kuota—yang membuat harga melon membengkak sebelum sampai ke kompor rakyat.

Solusinya jelas, negara harus hadir dengan tiga langkah berlapis. Pertama, audit distribusi secara digital. Setiap tabung mesti bisa dilacak dari Pertamina hingga pangkalan. Dashboard publik per kabupaten/kota perlu ditampilkan agar rakyat bisa memantau ketersediaan dan harga harian.

Kedua, penerapan verifikasi berbasis NIK di pangkalan, dengan pembatasan pembelian per keluarga. Ini akan menutup ruang bagi penyelewengan kuota. Ketiga, reformasi logistik: potong rantai distribusi tak perlu, tetapkan margin wajar, dan siapkan stok cadangan agar harga stabil di musim puncak.

Penegakan hukum wajib jadi tulang punggung. Satgas pangan, kepolisian, dan KPPU tidak boleh hanya melakukan “operasi pasar” yang bersifat seremonial. Penimbun dan pengecer nakal harus ditindak nyata: pencabutan izin, denda besar, hingga proses pidana bila ada unsur korupsi dan kolusi. Jika kebocoran subsidi menyentuh keuangan negara, jalurnya sudah jelas, ranah tipikor.

Di level kebijakan, wacana “satu harga LPG 3 kg” mulai 2026 patut dikaji, tapi jangan asal jalan. Tanpa sistem subsidi tepat sasaran, satu harga hanya akan menambah beban rakyat di daerah miskin. Transparansi biaya logistik, sistem voucher digital, dan mekanisme darurat saat harga global melonjak mutlak diperlukan.

Intinya sederhana. Kalau HET di kertas Rp12.750 tapi rakyat harus bayar Rp40 ribuan, itu bukan mekanisme pasar. Itu adalah kegagalan negara menegakkan aturan. Rakyat tidak boleh terus jadi korban “ekonomi politik tabung melon.” Dukungan kepada Purbaya bukan soal personal, melainkan dukungan terhadap logika publik. Subsidi harus sampai ke rakyat, bukan tercecer di jalan dan masuk kantong perantara.

Negara punya pilihan, membiarkan dapur rakyat (emak-emak) terbakar mahalnya harga, atau menegakkan hukum, data, dan distribusi yang adil. Suara Purbaya sudah menyalakan alarm. Sekarang saatnya pemerintah menjawab dengan tindakan nyata.

Editor: Maria Christina

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut