Jenderal Polisi Jadi Pj Gubernur seperti Bangkitkan Orde Baru
Mustafa melanjutkan, alasan Mendagri bahwa penunjukan itu bersandar pada Permendagri Nomor 1/2018 tentang cuti di luar tanggungan negara bagi kepala daerah juga tak relevan karena Permendagri tersebut justru bertentangan dengan UU Pilkada. Dalam UU ini telah diatur secara limitatif bahwa hanya pejabat pimpinan tinggi madya saja yang dapat menjadi Pj gubernur.
Wacana menjadikan perwira tinggi Polri yang masih aktif untuk menjadi pelaksana tugas atau penjabat gubernur juga langkah mundur proses reformasi yang telah bergulir selama hampir 20 tahun ini. Usulan itu seolah membangkitkan “dwifungsi” Polri sebagaimana dwifungsi ABRI pada zaman Orde Baru.
Mustafa melanjutkan, penunjukan Pj gubernur dari unsur kepolisian secara tidak langsung menjadikan daerah tersebut nyaris serupa dengan daerah darurat sipil. Bila mengacu kepada UU Nomor 23/Prp/1959 tentang Keadaan Bahaya maka diatur mengenai darurat sipil.
”Atas pertimbangan tersebut, kami mendesak Presiden untuk tidak menerbitkan keputusan presiden mengenai pelaksana tugas atau penjabat gubernur dari kalangan non sipil (TNI/Polri). Hal ini agar semangat reformasi yang mengutamakan supremasi sipil dan telah berlangsung selama hampir 20 tahun ini tetap terjaga,” kata dia.
PSHTN FHUI juga mengingatkan kembali kepada Pemerintah untuk senantiasa mengelola negeri ini sesuai dengan koridor hukum yang berdasarkan Konstitusi. Jangan sampai kebijakan yang diputuskan oleh Pemerintah justru menghidupkan kembali rezim otoritarianisme baru dan mematikan kehidupan berdemokrasi di Indonesia yang telah diperjuangkan oleh rakyat Indonesia.
Editor: Zen Teguh