Jokowi Larang Menteri Bicara 3 Periode, Pakar UGM: Sudah Tepat
JAKARTA, iNews.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) melarang para menteri bicara mengenai perpanjangan masa jabatan hingga 3 periode dan penundaan pemilu. Melihat hal ini, pakar dari Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai hal tersebut sudah tepat dilakukan.
Menurut pengamat komunikasi politik UGM, Nyarwi Ahmad larangan tersebut dinilai tepat untuk situasi saat ini. Sebab, masyarakat tengah dihadapkan dengan kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng, serta naiknya harga kebutuhan pokok lainnya.
Isu soal perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden 3 periode yang terus bergulir, dalam pandangannya, sudah tidak tepat lagi dan mengarah pada situasi kontraproduktif. Oleh karena itu, diperlukan upaya menghentikan polemik yang kurang menyentuh pada pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat saat ini.
“Saya kira larangan itu tepat karena wacana itu kalau kita runut sebenarnya datangnya dari elite juga. Kalau melihat kebelakang entah dalam bahasa perpanjangan atau 3 periode itu kan berasal dari kalangan elite para menteri atau petinggi partai,” ujar dia dikutip dari laman resmi UGM, Sabtu (9/4/2022).
Nyarwi mengakui isu semacam ini sebenarnya wajar dalam sebuah negara demokrasi. Meski begitu, ada persoalan-persoalan publik lain yang lebih penting dan memerlukan penyelesaian karena, rakyat membutuhkan solusi yang menyangkut kehidupan ekonomi mereka.
“Ya sah-sah saja sebenarnya wacana semacam itu, tapi ada yang jauh lebih penting adalah menyangkut kehidupan publik yang harus segera diatasi, bukan soal presiden 3 periode tapi bagaimana mengantisipasi soal minyak goreng atau kenaikan tarif tol, BBM dan lain-lain,” ucap Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) itu.
Sementara itu, terkait berbagai usulan perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden 3 periode, ia menilai hal semacam itu menandakan jika sebagian elite masih merindukan bayang-bayang memiliki sosok pemimpin yang kuat seperti di zaman Orde Baru. Dengan keinginan semacam itu memperlihatkan soal ketaatan pada konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi belum tertanam sepenuhnya dalam kesadaran para elite.
Oleh sebab itu, Nyarwi sangat menyayangkan usulan tersebut mengingat Indonesia sudah mengalami fase kelembagaan demokrasi yang relatif cukup matang. Hal tersebut terbukti dengan keberhasilan pelaksanaan pemilu secara langsung selama 4 kali.
“Karenanya tepat cara untuk menghentikan polemik ini. Bisa berhenti tentu sejauh elite tidak meneriakkan atau menyuarakan agenda presiden 3 periode, dan saya kira wacana itu akan teredam dengan sendirinya,“ tegas dia.
Nyarwi mengatakan, elite yang dimaksud bukan saja merekayang berada di lingkaran presiden atau para petinggi partai, tetapi termasuk pula para perangkat desa di Indonesia. Sebab, Asosiasi Perangkat Desa Indonesia (APDESI) akhir-akhir ini turut menyuarakan soal perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden 3 periode.
Jika prosedur demokrasi sudah berjalan dengan baik saat ini, kata Nyarwi, langkah berikutnya sebenarnya tinggal mengarahkan pada hal-hal yang substansial dari demokrasi berupa hal-hal yang menyangkut soal transparansi dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang lebih mudah.
”Tentu presiden tetap komitmen terhadap demokrasi yang sudah berjalan sebagaimana yang diamanatkan konstutusi. Taat terhadap fondasi-fondasi kehidupan bertata negara yang tertuang dalam konstitusi kita, dan semua pernyataan pejabat publik saat ini kan tidak bisa ditarik, semua terekam dan dicatat. Media dan publik di era digital ini tentu akan mudah sekali menemukan jejak digital, termasuk pejabat publik,“ tutup dia.
Editor: Puti Aini Yasmin