Kisah Dirman, Petugas Keamanan Kedubes Australia Terdampak Serangan Teroris hingga Kehilangan Mata
JAKARTA, iNews.id - Sudirman A Thalib masih memiliki postur tegap. Sorot matanya tetap tajam meskipun salah satu matanya kini sudah diganti dengan mata palsu.
Pria dengan tinggi 175 cm itu merupakan petugas keamanan yang bertugas di Kedutaan Besar (Kedubes) Australia di Kuningan, Jakarta. Badannya yang tak lagi utuh ternyata akibat serangan teroris pada tahun 2004.
Dirman, sapaan akrabnya lahir pada tahun 1982 dan mulai merantau ke Jakarta pada 2001 setelah lulus jenjang pendidikan menengah atas di Bima. Harapannya dapat berkuliah, meraih masa depan yang lebih baik untuk mengangkat nasib keluarganya di kampung.
“Saya terlahir dari keluarga yang tidak mampu,” ucapnya dikutip dari Antara, Rabu (15/12/2021).
Selama 2,5 tahun pertama dia bekerja sebagai petugas keamanan di Serang dan tinggal menumpang di kerabatnya. Karena situasinya tidak memungkinkan untuk kuliah, dia memutuskan berhenti dan pindah ke Jakarta.
Dia kembali melamar sebagai satpam di salah satu perusahaan alih daya pengamanan dan ditempatkan di Kedutaan Besar Australia di Kuningan, Jakarta. Pekerjaan yang hingga kini dilakoninya.
Sekitar tiga bulan bekerja di Kedutaan Australia, pada 9 September 2004 pagi, sebuah peristiwa yang tidak akan pernah dilupakannya mengguncang jiwa dan raganya. Sebuah mobil membawa bom meledak di depan Kedubes Australia sekitar pukul 10.30 WIB yang mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Dia merupakan salah satu petugas keamanan yang sedang bekerja kala itu, yang selamat dari maut. Sebanyak sembilan orang meninggal dan lebih dari seratus orang mengalami luka-luka dalam peristiwa itu.
Dirman berdiri sekitar 10 meter dari gerbang Kedutaan Australia dan tiba-tiba ada ledakan yang dahsyat.
"Saya waktu itu tidak tahu apa yang terjadi dengan saya. Tiba-tiba badan saya terlempar, dengan spontan saya takbir Allahu Akbar tiga kali. Saya ingat dan saya terjatuh, saya melihat sekujur badan saya penuh darah," kenangnya.
Ledakan itu membuat kedua tangannya luka parah, sementara darah di kepala terus mengucur, begitu pula dengan kakinya. Pakaiannya pun sudah tidak utuh lagi.
"Dan detik itu, membuat saya merasa akhir dari perjuangan hidup saya, akhir dari perjalanan saya, saya pasrahkan kepada Allah, ya Allah, jika hari ini hari terakhir buat hamba saya ikhlas," katanya dengan terbata-bata.
Yang dia ingat saat itu yakni keinginannya untuk berjuang membahagiakan orang tua saat akan ke Jakarta. Hal itu menjadi pendorongnya untuk tetap bertahan. Di saat sekujur tubuhnya tak lagi bisa bergerak, dalam ingatannya, ada tiga orang datang mengangkut dirinya dan dia dibawa ke RS MMC.
Kemudian dia dipindahkan ke RS Cipto Mangunkusumo. Dari RS Cipto Mangunkusumo, dia kemudian dipindahkan lagi ke RS Medistra.
Akibat ledakan tersebut, hampir saja dia kehilangan kedua tangannya. Tangannya sempat akan diamputasi. Namun tidak terjadi. Kedua tangannya akhirnya dioperasi. Pen pun dipasang untuk memperkuat tulang tangan. Sementara kulit di bagian paha kaki diambil untuk menambal kulit di tangannya. Ia pun dioperasi berkali-kali.
Selama enam bulan dia berada di rumah sakit tersebut untuk penyembuhan dan belajar jalan.
"Alhamdullillah saya masih bisa bersyukur, tangan saya masih bisa digunakan walaupun tidak normal, ini sudah hampir putus dipasang pen, bongkar pasang dan inilah hasil yang maksimal yang bisa dokter lakukan buat saya dan saya bersyukur," ujarnya lirih.
Setelah enam bulan, dia bekerja kembali di tempat yang sama. Dia berpikir masa penderitaan telah berakhir. Ternyata belum usai.
Saat jalan, dia tiba-tiba terjatuh dan di bawa kembali ke RS. Di RS, dokter mendiagnosis adanya masalah syaraf di kepala yang sulit disembuhkan. Satu-satunya cara yaitu meminum obat syaraf yang telah ditentukan setiap hari dan tidak boleh berhenti. Obatnya pun tidak hanya satu.
"Saking banyaknya obat sejak 2004, saya sempat berhenti untuk minum obat itu, dan saya jatuh lagi di jalan. Dokter bilang ini obat tidak boleh berhenti, dan kamu harus tetap meminumnya, dan sampai hari ini masih mengkonsumsi obat syaraf itu, dan saya tidak tahu kapan harus berhenti mengkonsumsi obat ini," ujarnya.
Masalah syaraf bukan akhir cerita. Mata kirinya yang awalnya tidak terlalu masalah mengalami pendarahan. Terjadi pembengkakan. Sebuah serpihan masih bersarang di mata kirinya.
Dokter menyatakan mata kirinya harus diangkat. Bila tidak maka akan berpengaruh terhadap mata sebelah kanannya. Pada 2010, dia pun mengikhlaskan mata kirinya untuk diangkat.
"Saya ikhlas untuk ini, alhamdulillah saat ini saya menggunakan satu mata, mata kiri saya mata palsu dan bagi saya itu adalah ujian sekaligus nikmat karena dengan hal ini saya bisa tetap bangkit, tetap merasa bersyukur atas nikmat yang Allah berikan, karena hidup itu tetap membuat saya tetap tangguh kukuh," tuturnya.
Kehilangan salah satu matanya, tidak membuat Sudirman patah semangat. Berselang empat tahun kemudian dia pun meneruskan langkahnya mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi.
Kuliah di Univesitas Indraprasta, Jakarta, Sudirman mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Dia pun mampu menggondol gelar sarjana.
Keinginan untuk meraih pendidikan yang lebih tinggi hingga saat ini tak pernah padam. Bila ada kesempatan meraih beasiswa untuk S2, dia pun akan mengambilnya.
Editor: Rizal Bomantama