LP2M dan Kauje Bahas Kronik Pandemi Covid-19 Bareng Alumni di Tiga Benua
JEMBER, iNews.id – Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) bekerja sama dengan Keluarga Alumni Universitas Jember menyoroti perkembangan wabah virus corona atau Covid-19 yang kini melanda dunia. Bersama alumni di tiga benua, mereka membahas dan memberikan masukan mengenai langkah-langkah penanganan pandemi global ini.
Perhatian pada penanggulangan Covid-19 ini diulas dalam seminar secara daring (webinar) yang melibatkan alumni Universitas Jember di benua Afrika, Amerika dan Australia sebagai pembicara. Webinar pada Selasa (5/5/2020) malam waktu waktu Indonesia ini diikuti oleh dosen, mahasiswa dan Rektor Universitas Jember.
Webinar juga melibatkan peserta dari berbagai belahan dunia, termasuk para dosen Kampus Tegalboto yang tengah belajar di berbagai negara. Webinar dipandu moderator Pung Purwanto, jurnalis senior Koran SINDO yang juga alumnus FISIP Universitas Jember.
Menurut Ketua Umum Kauje, Sarmuji, webinar bertema “Kronik Pandemi Covid-19 di Berbagai Benua” ini digelar untuk mengetahui pengalaman berbagai negara dalam menghadapi pandemi Covid-19 dan mengambil contoh yang baik guna diterapkan di Indonesia. Webinar ini sekaligus sumbangan Universitas Jember dan alumni bagi penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia.
“Pandemi Corona-19 ini menjadi momentum bagi kita untuk terus bersatu, bergotong-royong dan saling membantu. Saya berharap webinar kali ini akan menjadi jejak digital yang berguna bagi penanganan pandemi Covid-19 sehingga bisa menjadi pelajaran bagi generasi mendatang, serta menjadi sumbangan pemikiran dari kampus dan alumnus Universitas Jember,” kata anggota DPR ini.
Webinar menghadirkan Profesor Achmad Subagio, Ketua LP2M yang tertahan di Nigeria karena penerbangan internasional belum beroperasi. Menurutnya, jumlah penderita positif Covid-19 di Nigeria dan negara lain di benua Afrika mulai merangkak naik.
Penambahan jumlah korban ini dikarenakan belum banyak masyarakat Nigeria yang paham bahaya Covid-19 dan bagaimana cara mencegah. Banyak warga abai anjuran social dan physical distancing atau keharusan memakai masker seperti disarankan pemerintah.
"Apalagi masyoritas warga Nigeria masih rendah taraf pendidikannya, ditambah sanitasi barang mewah di sini,” kata Achmad, yang telah tertahan tiga bulan di negara itu.
Menurut dia, Pemerintah Nigeria bukan tanpa usaha. Sejak 21 April, pemerintah telah melaksanakan lockdown total di beberapa kota besar, seperti Lagos dan Abudja. Jam malam pun diberlakukan secara ketat, dimana warga hanya bisa beraktivitas secara terbatas mulai jam 7 pagi hingga jam 2 siang. Warga yang melanggar aturan akan berurusan dengan polisi dan militer.
Langkah ini ternyata cukup efektif menahan laju penambahan korban Covid-19. Tapi dampaknya terjadi masalah sosial dan ekonomi, banyak warga di kota besar yang tak bisa bekerja sehingga mengalami kekurangan pangan.
Begitu pun bahan makanan terutama makanan instan yang habis di pasaran mengingat pabrik berhenti beroperasi. Akibatnya beberapa kali terjadi kerusuhan yang menelan korban jiwa.
“Untungnya, kasus kekurangan pangan ini tidak terjadi di perdesaan karena bahan pangan masih tersedia. Aapalagi warga terbiasa makan makanan yang tersedia di alam, tidak bergantung pada satu jenis bahan pokok,” kata Achmad.
Pakar tepung Mocaf ini menjelaskan, situasi tersebut dapat menjadi pelajaran bagaimana Indonesia harus mempersiapkan modal sosial dalam menghadapi bencana seperti Covid-19. Sebagai contoh sosialisasi pencegahan Covid-19 yang masif agar warga tahu bagaimana menjaga diri, ketegasan pemerintah melakukan lockdown atau PSBB.
Pelajaran lainnya yakni pentingnya diversifikasi pangan. Indonesia tidak boleh bergantung pada satu jenis bahan pangan, misalnya beras. Jika daerah penghasil beras berhenti beroperasi, krisis pangan bisa terjadi.
Pemateri kedua yakni Arifi Saiman, alumnus kampus Tegalboto yang kini menjadi Konsul Jenderal RI di New York, Amerika Serikat. Menurut dia, negara bagian New York telah menjadi episentrum pandemi Covid-19 di AS.
Tercatat 683.000 penderita dengan 45.000 yang meninggal dunia. Sebaran yang cepat ini karena New York merupakan kota padat penduduk, pusat bisnis dunia, dan tujuan wisata.
Mobilitas manusia di New York sangat dinamis. Sebagai pencegahan, pemerintah New York menggalakkan tes massal. Langkah selanjutnya pemberlakukan New York on Pause hingga September nanti.
“Tidak ada lockdown total, tapi mobilitas warga dibatasi dengan penerapan social dan physical distancing dengan New York on Pause. Langkah ini didukung penyediaan 3,5 juta masker gratis dan warga yang berdisiplin sehingga berhasil menekan laju korban Covid-19,” katanya.
Dia menambahkan, di area kerja KJRI New York yang meliputi 15 negara bagian di wilayah pantai timur Amerika Serikat, terdapat 31.948 Warga Negara Indonesia (WNI). Dari jumlah tersebut ada 41 orang yang positif Covid-19 dan 11 orang telah meninggal dunia.