Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : Jimly Asshiddiqie Ungkap Marak Kasus Ijazah Palsu: Dipakai untuk Alat Persaingan Politik
Advertisement . Scroll to see content
Advertisement . Scroll to see content

Sebenarnya istilah pasca-kebenaran pertama kali digunakan oleh seorang penulis Amerika keturunan Serbia, Steve Tesich, pada 1992 dalam sebuah esai tentang skandal Iran-Contra dan Perang Teluk. Tesich menyesalkan bahwa 'kami, sebagai orang merdeka, telah bebas memutuskan bahwa kami ingin hidup di dunia pasca-kebenaran'. Ada bukti ungkapan 'pasca-kebenaran' telah digunakan sebelum artikel Tesich, tetapi dengan makna transparan 'setelah kebenaran diketahui', dan bukan dengan implikasi baru bahwa kebenaran itu sendiri menjadi tidak relevan.

Namun, istilah ini baru popular setelah Inggris Raya keluar dari Uni Eropa yang dikenal dengan istilah Brexit (British Exit). Istilah ini kembali booming setelah Donald Trump terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Kondisi pasca-kebenaran ini digerakkan oleh sentimen emosi, informasi-informasi hoaks berpengaruh jauh lebih besar ketimbang fakta sebenarnya.

Adab Era Pasca-kebenaran
Sisi mana pun yang Anda dukung, tampaknya kita memang hidup di era pasca-kebenaran yang mengerikan. Mungkin saja pada waktunya sejarah dan negara juga akan dipalsukan. Faktanya, kebohongan dan fiksi itu nyata di sekitar kita. Baik atau buruk, fiksi adalah salah satu alat yang paling efektif digunakan sebagai perangkat oleh manusia. Sebagaimana yang dikatakan Yuval Noah Harari dalam buku “21 Lessons for the 21st Century” (2018), ketika ribuan orang percaya pada cerita yang dibuat selama sebulan, itu adalah berita palsu. Tapi, ketika jutaan orang mempercayainya selama ribuan tahun, itu adalah agama.

Bagaimana kita menghadapi era pasca-kebenaran ini? Pertama, angkat kembali nilai-nilai kejujuran yang diajarkan pada setiap agama dan kepercayaan. Berita palsu bukanlah masalah serius. Setiap upaya untuk menemukan kebenaran pasti ada jalannya. Karena di bawah berita palsu selalu ada fakta nyata.

Kedua, tegakkan hukum seadil-adilnya. Kita sudah memiliki Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 dan UU No 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang dapat menjerat siapa saja yang menyebarkan berita palsu atau hoaks. Kita juga memiliki lembaga yang bertugas memblokir semua aduan konten negatif. Tapi, juga besar harapan kita pada penegak hukum dan lembaga pengawas konten agar bertindak adil dan menerapkan azas semua sama di hadapan hukum.

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut