Masih Belajar dari Rumah, Are You Oke?
Adjat Wiratma
Doktor Manajemen Pendidikan
SUDAH hampir satu bulan anak-anak di Jakarta dan daerah zona merah lain melanjutkan belajar dari rumah. Walau Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah membuka peluang sekolah tatap muka di awal 2021, hal itu tidak lagi relevan di tengah angka kasus Covid-19 yang masih terus meningkat, hingga membuat semua rencana yang disusun di akhir tahun tidak dijalankan, 2021 masih dengan format lama yakni belajar daring.
Sayangnya rencana aksi persekolahan selama pandemi ini lamban beradaptasi. Pelaksanaan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di tahun baru tidak dibarengi skenario baru. Tidak sedikit, anak-anak yang sudah merasa bosan belajar di rumah karena kegiatan belajar yang begitu-begitu saja. Para orang tua pun ada yang sudah bersikap masa bodoh ketika anaknya lebih banyak main di luar, daripada melakukan kegiatan bersama di rumah.
Masalah sebetulnya bukan pada tatap muka atau tidak, tapi mampukah guru melakukan perubahan nyata dalam pengajaran yang memanusiakan. Pembelajaran yang didalamnya ada inovasi, kreativitas, efektivitas, fleksibility, kemandirian dan pengembangan sumber belajar.
Kalau pun sekolah tatap muka, namun cara mengajarnya tetap sama seperti selama ini, hanya fokus pada pemenuhan kurikulum semata, disampaikan searah, banyak membebankan tugas, monoton dalam mengajar, maka ancaman “degradasi” tetap nyata. Perubahan harus dilakukan guru terkait rencana aksinya.
Salah satunya memaksimalkan model pembelajaran campuran atau hybrid yakni perpaduan face to face dan e-learning, yang oleh beberapa guru selama pandemi ini sudah diperaktekan dengan ragam implementasi melihat keberagaman situasi dan kondisi.
Kurikulum itu hidup dan harus dihidupkan untuk menempatkan siswa pada jantungnya tujuan pendidikan, yakni menjadikan anak didik sebagai insan yang menunjukan pribadi Pelajar Pancasila, yakni yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman dan bertakwa, berakhlak mulia, gotong royong dan berkebinekaan global.
Dari sinilah guru harus dapat melakukan perencanaan dan pelaksanaan dengan baik. Misalnya saja, jika selama ini guru membuat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang di dalamnya ada identitas mata pelajaran, standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, kegiatan pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar, yang digunakan guru.
Di masa PJJ yang diharapkan adalah desain belajar seperti apa yang harus dilakukan siswa didampingi orang tua selama di rumah, misalnya melalui model belajar kontekstual, atau berbasis proyek.
Mewujudkan Kelas Bahagia
Apa yang harus dilakukan agar rencana aksi guru mengisi masa transisi ini berjalan baik, yakni mengubah kebosanan (di dalamnya ada stress, dan lain-lain) menjadi kebahagiaan, menjadikan bapak ibu guru sebagai guru merdeka yang memanusiakan anak-anak. Lakukan perubahan dengan menciptakan “sekolah bahagia.”
Pertama, kelas yang fleksibel. Indonesia ini sangat beragam, ada sekolah yang siap dengan penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran. Ada yang masih belajar, ada yang benar-benar belum siap (tertinggal), begitupun di satu sekolah, sekalipun di Jakarta guru tidak dapat menganggap sama semua siswanya, dan untuk menjawab keberagaman itu butuh fleksibilitas.
Guru tidak akan sukses melakukan blanded learning saat tahu ada murid yang handphone (HP) saja tidak punya, punya HP pulsanya tidak ada, atau satu keluarga hanya punya satu HP yang digunakan untuk lebih dari satu anak. Itu sebabnya setiap guru butuh melakukan asesmen awal bagi muridnya. Tidak hanya asesmen potensi akademik, tapi juga sosial ekonomi, karena ada banyak penelitian menunjukan anak-anak berhasil di sekolah tidak semata-mata keberhasilan sekolah itu tapi juga karena dukungan di rumah.
Kedua, kelas bahagia itu harus fokus pada pengembangan kepercayaan diri anak. Ingat, salah satu hal penting dalam hybrid learning adalah mandiri. Bagaimana anak juga menjadi pribadi yang PD (percaya diri) sehingga anak terdorong untuk mencari ilmu yang ia butuhkan. Sekolah modern itu harus mampu menjadikan anak-anaknya memiliki kepercayaan diri. Kepercayaan diri itu tumbuh dengan guru memberi kepercayaan pada anak, melatih dia dengan masalah (problem solving), belajar dari kegagalan/kesalahan (bukan penghukuman), presentasi, apresiasi.
Ketiga menumbuhkan empati. Percaya atau tidak, belajar online dengan tidak pernah tatap muka langsung membuat anak hilang kontak dengan temannya, maka guru harus mengarahkan pembelajaran tatap muka itu untuk membangun empati, salih mengasihi, peduli (rasa kemanusiaannya dibangkitkan), ciptakan semua saling mengenal kelebihan masing-masing, saling menghargai, punya rasa persaudaraan yang tinggi.
Keempat adalah kelas yang di dalamnya mendorong anak untuk mau terus belajar. Guru harus menjadi orang yang mendorong dan menggerakan. Ini butuh banyak kreatifitas guru dalam menyiapkan atau memilih/mereferensikan sumber belajar. E-elarning itu kan sekarang beragam, tidak hanya e-book/e-modul tapi juga sudah multimedia.
Guru tidak hanya meminta anak untuk cari di google tapi harusnya guru punya blog guru, youtube guru, disamping flatform belajar yang sudah disiapakan pemerintah, itu sebabnya guru penting berkreasi untuk memotivitasi. Blanded salah satunya untuk mengefisienkan waktu belajar, dan mensiasati keterbatasan ruangan, makanya butuh pembagian yang seimbang, yang sudah disiapkan guru mana yang luring, mana yang daring.
Kelima apapun model pembelajarannya, bapak ibu guru harus mampu menciptakan kelas yang hangat dan menyenangkan. Mengajar daring tetap dengan mimik wajah yang ekspresif. Bapak ibu guru harus menyapa, memberikan salam pada siswa, menerangkan materi dengan sangat power full. Rumus verbal, vokal, dan visual harus diterapkan. Guru harus mampu mengoptimalkan tiga V-nya itu.
Mengajar itu tidak hanya ceramah, baca buku depan murid, menulis di papan tulis. Buatlah proses pembelajaran yang hangat dengan tidak hanya duduk diam. Guru dapat menggunakan media audio video, mengunakan alat peraga, yang semuanya harus dipersiapkan sejak awal. Terkait dengan vokal, bagi guru yang merasa suaranya kecil, yang sudah senior, perlu dilatih untuk mengefektifkan teknik vokalnya.
Terakhir yang keenam adalah kelas yang berkesan dan bermanfaat. Anak akan selalu rindu dengan gurunya, dengan sekolahnya, dan guru pun anak bahagia melihat anak dapat menujukan hasil belajar yang baik bahkan melampaui ekspektasi.
Melangkah pada Perubahan Besar
Pandemi adalah kondisi luar biasa yang harus dijawab dengan cara-cara yang luar biasa. Pandemi juga mempercepat proses digitalisasi dalam dunia pembelajaran, sehingga semua harus cepat menyesuaikan. Belajar virtual adalah masa depan, jika belajar daring kita selama ini sbaru sebatas kirim tugas pakai WhatsApp, tatap muka via zoom. Guru dan Sekolah kedepan harus membangun LMS (Learning Management System) yang lebih besar.
Pandemi ini dapat dijadikan titik balik Pemerintah melakukan transisi menuju tatanan pendidikan baru, yakni mengubah kebijakan pendidikan dan anggaran pendidikan dengan membangun infrastuktur internet-komputer secara merata ke semua sekolah dan daerah. Digitalisasi yang diungkapkan Kemendikbud di 2021 tidak hanya sebatas membagikan komputer, tapi menyambungkan internet di daerah terpencil. Kemudian dalam jangka panjang, menyiapkan diri menghadapi kemungkinan terjadinya pandemi lagi atau dalam kondisi darurat lainnya.
Di semester kedua ini, diharapkan tidak ada cara dan kebiasaan buruk yang terulang. Kita sudah selangkah lebih maju, jangan mundur lagi. Orientasi kurikulumnya bukan tentang penguasaan materi saja, tapi menjadikan manusia bisa hidup dan bermanfaat. Guru dituntut untuk belajar cepat, semua dilakukan dengan melihat kondisi dan situasi yang beragam.
Strateginya, guru merdeka dalam mengimplementasikan kurikulum. Luring atau daring haruslah mensyaratkan pembelajaran yang mandiri dan variatif. Kolaborasi menjadi penting demi suksesnya pembelajaran, bagun terus kemitraan dengan orang tua. Assesmen awal, tengah dan akhir yang dilakukan dengan test dan non-test, dan fleksibel melihat daya dukung.
Pengelolaan belajar di masa pandemi butuh pemahaman guru, melalui simulasi-simulasi. Perlu kesamaan pandangan guru, siswa, dan orang tua. Praktek persekolahan harus dilakukan secara bertahap. New normal ini saya yakini akan mengarah pada perubahan praktik pendidikan kedepan yang lebih bermutu.
Editor: Zen Teguh