Memahami Vaksin Nusantara
Iqbal Mochtar
Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Pemerhati Masalah Kesehatan
ISU yang menyebutkan vaksin Covid-19 Nusantara sudah tersedia sempat menyeruak baru-baru ini. Muncul kabar vaksin boleh digunakan, layaknya Sinovac, Astra Zeneca, atau Moderna. Bahkan ada pula isu dikirim ke luar negeri.
Beberapa hal yang perlu diketahui soal vaksin Nusantara. Pertama, status vaksin Nusantara saat ini masih tahap penelitian alias ongoing trial. Belum ada persetujuan penggunaannya untuk masyarakat umum. Kasarnya, belum ada approval-nya. Tapi kalau masyarakat berminat dijadikan subjek penelitian vaksin, bisa saja, silakan. Tapi karena statusnya masih penelitian, keterlibatan mereka terbatas sebagai subjek uji coba.
Artinya, mereka harus siap menerima semua konsekuensi penelitian; bisa menguntungkan dan bisa berbahaya bagi tubuh. Jadi pernyataan juru bicara Kemenkes perlu diperjelas bahwa memang vaksin ini telah dapat diakses oleh masyarakat tetapi dalam kapasitas subjek uji coba.
Keterlibatan sebagai subjek uji coba vaksin bukan hal istimewa. Di berbagai penelitian, masyarakat memang bebas bila ingin menjadi subjek penelitian. Tidak ada larangan. Sepanjang memenuhi syarat penelitian dan setuju dengan konsekuensinya.
Kedua, sangat absurd menyatakan bahwa vaksin Nusantara ini dapat dikomersialkan seperti vaksin lain. Apalagi mau diimpor. Kenapa? Karena sel dendritik yang digunakan dalam vaksin ini sifatnya autolog. Artinya, sel dendrit diambil dari darah pasien, digabung dengan rekombinan antigen Covid-19, diinkubasi, kemudian dimasukkan kembali ke tubuh pasien. Prinsipnya, dari seorang pasien dan untuk pasien itu saja. Jadi bahan yang diambil dari seseorang tidak dapat digunakan untuk orang lain. Dalam kondisi demikian, bagaimana mungkin bahan yang diambil dari orang Indonesia dapat diekspor dan digunakan pada orang lain? Bagaimana mungkin dapat diimpor?
Ketiga, minim nilai komersial. Beda dengan vaksin lain yang ada saat ini, kalaupun vaksin Nusantara terbukti hasilnya baik, kecil kemungkinan dapat diperjualbelikan seperti vaksin lain yang beredar saat ini. Kalaupun ada, commercial value-nya paling terletak pada transfer of knowledge atau teknologi. Yaitu, kita mengajarkan pengetahuan dan keterampilan ke negara lain dan kita mendapat imbalan uang. Itu pun dengan catatan negara lain belum paham pengetahuan dan keterampilan pembuatan ini. Kalau mereka paham, ngapain minta Indonesia mengajarkan?