Momentum Reshuffle Kabinet Jokowi
Kedua, hukum besi partai politik. Dalam sistem presidensialisme multipartai ekstrem, banyak kerumitan yang sukar diterabas nalar rasional. Salah satunya tentang otoritas memilih menteri. Meski presiden dipilih rakyat namun kuasa partai politik tak bisa dihilangkan. Bahkan menjadi faktor determinan yang kerap menyandera kuasa presiden. Tak heran jika dalam praktiknya soal rombak kabinet saja bisa berlarut-larut. Hukum besi partai politik bermata ganda. Yakni, untuk internal dan ekstenal partai politik.
Ketiga, hukum besi reshuffle tak mungkin terjadi pada ketua umum partai politik. Apapun judul kemarahan Jokowi, entah karena faktor kinerja atau alasan lain, pergantian kabinet bisa dipastikan tak akan dilakukan pada ketua umum partai politik yang saat ini jadi menteri. Inilah ruwetnya presiden hasil koalisional banyak partai politik. Presiden kerap “kontreversi hati” dalam memutuskan keputusan strategis seperti reshuffle kabinet.
Oleh karena itu, wacana rombak kabinet yang santer belakangan tak seindah keinginan publik di mana Presiden bisa seenak hati mengganti pembantu yang tak maksinal. Ada tembok tebal yang dihadapi Jokowi. Tentunya ini bagian dari sandera politik pemerintahan koalisional yang rumit. Alasan menjaga stabilitas dan dukungan politik sangat mengemuka dalam konteks ini. Jokowi telah belajar banyak dari periode pertama awal pemerintahannya yang tak bekutik melawan dominasi parlemen pendukung Prabowo Subianto.
Dilema
Sepertinya Jokowi terjebak dalam sebuah dilema akut soal desakan rehsuffle kabinet. Satu sisi banyak menteri yang kinerjanya memang tak bisa diharapkan lagi, namun sisi lain rombak kabinet bukan perkara gampang macam simsalabim. Antara pilihan kerja maksimal profesional dan stabilitas politik menjadi simalakama. Bukan tak mungkin reshuffle yang dilakukan di tengah pandemi Covid-19 justeru menciptakan gejolak politik tak terkendali.
Apalagi pada 2024 Jokowi tak bisa maju pemilihan umum presiden, maka ancaman stabilitas politik sangat rasional jadi pertimbangan utama. Sebab, partai politik serta aktor politik lain merasa tak butuh ke Jokowi lagi. Mereka bisa melakukan resistensi kapan pun tanpa diduga sebelumnya. Sekali lagi, ini bagian dari rumitnya rezim pemerintahan koalisional yang pola politiknya sukar ditebak, acak, yang sangat potensial muncul oposisi dari dalam seperti yang sering terjadi di era kedua Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).