Pemimpin yang Cerdas Beriman

Fajar S Pramono
Alumnus Fakultas Pertanian UNS
DALAM buku Pemimpin yang "Tuhan" (2018), Emha Ainun Nadjib menulis: Pemimpin yang paling berbahaya bagi rakyatnya adalah pemimpin yang semua orang tidak mengemukakan kebenaran kepadanya, baik karena takut, kepentingan untuk menjilat, maupun karena sikap kemunafikan. Ketika pemimpin ini bertelanjang bulat pun, bawahannya membungkuk dan bilang, "Jas dan dasi Bapak bagus sekali."
Sikap yang ditunjukkan para pengikut pemimpin itulah yang menjadikan si pemimpin-sadar atau tidak sadar-menjadi "Tuhan". Ia tidak pernah merasa salah. Ia selalu merasa baik. Merasa keputusannya paling tepat dan merasa seluruh pilihan sikapnya adalah kearifan serta kebijaksanaan.
Tapi tentu saja, semua itu hanya ada di dalam pandangannya sendiri dan pandangan para pengikut fanatiknya. Bahkan, ketika pengikut yang merangkap sebagai "penjilat" itu pun tahu bahwa si pemimpin salah. Bahwa keputusan si pemimpin tidak tepat. Bahwa kepemimpinannya jauh dari sikap arif dan bijaksana.
Jadi, pemimpin yang "Tuhan" itu bisa lahir dari dua sisi: dari sifat dasar kejemawaan yang sudah mendarah daging sebagai karakter dasar diri atau tercipta akibat "pengondisian" secara tidak langsung oleh para pengikutnya sebagaimana disampaikan Emha di atas.
Namun pasti, keduanya sangat berbahaya bagi kehidupan sebuah individu atau organisasi. Jika ia wakil rakyat, maka aspirasi yang mengemuka sesungguhnya merupakan aspirasi pribadinya. Jika ia pemimpin partai, maka partai yang dipimpinnya tak lebih dari sebagai alat representasi dan aktualisasi ambisinya sendiri.
Jika ia pemimpin negara, maka bisa jadi negara ini akan dibawa sesuka sang pemimpin memimpin, tanpa arah yang jelas, dan si pemimpin tidak pernah tahu apakah negara yang dipimpinnya sedang menuju pada kualitas negara lebih baik atau justru berjalan mundur dan menuju kehancuran.
Tentu akan jauh lebih berbahaya jika ia adalah pemimpin agama. Loyalitas dan (kadang-kadang) taklid buta yang banyak diamini para pengikut agama bisa menjadikan prinsip dan aktivitas keagamaan, yang mereka lakukan justru menuju pada kesesatan ketika seseorang sudah ditasbihkan menjadi pemimpin berlaku seperti "Tuhan". Maka itu, sudah selayaknya kita harus bisa mencari pemimpin yang "manusia" namun memiliki kecerdasan ekstra berupa "kecerdasan beriman".
Beyond Spiritual Agility
Apa itu kecerdasan beriman? Porat Antonius, Master of Arts bidang Manajemen Informasi lulusan Newcastle University yang juga staf pengajar di Universitas Nusa Cendana Kupang menulis buku Vertikalitas Otak dan Peringkat Humanitas Manusia (2018). Secara bernas ia "menggugat" hakikat manusia sebagai homo sapiens, homo religiosus, homo faber, homo economicus, homo narrans, homo homini lupus, dan homo deus.
Dalam hierarki jenis kecerdasan manusia, Porat memperkenalkan satu jenis kecerdasan baru. Jika selama ini kita mengenal hierarki konsep kecerdasan manusia berupa kecerdasan rasional, kecerdasan multiple intelligences, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial, dan kecerdasan spiritual, maka Porat memperkenalkan satu jenis kecerdasan yang berada satu level di atas kecerdasan spiritual. Itulah "kecerdasan beriman".