Pemimpin yang Cerdas Beriman
Kecerdasan ini akan membuatnya senantiasa ingat apa tujuan hidup manusia dan ke mana tujuan dunia global yang melingkupi negeri kita sehingga apa yang dilakukan serta diputuskannya benar-benar bersumber dari kemampuannya memahami kebenaran versi Tuhan. Bukan versi para pembisiknya, versi partai pendukungnya, atau versi rakyat yang mengelu-elukannya.
Tidak Mudah
Pertanyaan berikutnya, apakah mudah mengetahui dan mendapatkan pemimpin yang telah memiliki kecerdasan hingga level kecerdasan beriman ini? Tentu tidak. Pemimpin dan calon pemimpin sering kali tak bisa terbaca langsung gestur dan karakteristik aslinya, jika kita hanya melihat profil diri mereka saat ini saja.
Karakter kecerdasan itu layaknya kompetensi. Ia selalu muncul dalam frekuensi tinggi dan dalam periode yang lama. Tidak bisa dilihat secara instan, apalagi pada saat ini banyak konsultan personal branding yang bisa menyulap penampilan dan citra para pemimpin di depan publik dalam waktu singkat.
Belum lagi jika kita ingat bahwa kita hidup di era teknologi yang bukan saja berkontribusi positif bagi kehidupan politik kita, tapi secara berimbang juga berkontribusi negatif melalui teknologi manipulatif demi penyesatan opini. Hoaks, jual beli akun dan follower , dan bisnis key opinion leader (KOL), menjadi sarana subur bagi pemutarbalikan fakta dan propaganda berbahaya.
Maka itu, ketika kita berharap bahwa Indonesia akan dipimpin oleh pemimpin yang cerdas beriman, maka sesungguhnya tuntutan itu juga kembali kepada kita: rakyat dan para pemilihnya. Seperti juga ketika kita menuntut pemimpin bersih, maka yang pertama harus kita lakukan adalah menengok kepada diri kita sendiri: sudahkah kita bersih?
Kejelian, sensitivitas, feeling , dan insting yang kita gunakan akan menghasilkan kesimpulan pengamatan dan analisis yang benar jika kita secara paralel juga belajar menjadi manusia sesuai dengan idealitas. Seseorang yang tak mampu menghilangkan timbunan rasa dengki sebelum mengamati, tak akan pernah bisa objektif dan menerima bahwa orang di hadapannya adalah orang baik dan jernih hati.
Sebaliknya, seseorang yang memiliki kejernihan hati akan mampu melihat bahwa orang di hadapannya adalah orang yang sekadar berpura-pura baik, semata agar dikagumi, dan dalam konteks kepemimpinan: diakui sebagai pemimpin berbudi.
Karena itu, pekerjaan rumah kita jelas: mari tingkatkan kecerdasan kita ke arah kecerdasan beriman agar tak salah pilih ketika kita menginginkan pemimpin dengan tingkat kecerdasan yang paripurna.*
*Artikel ini telah tayang di Koran SINDO
Editor: Zen Teguh