Pemuda Perindo : Anak Indonesia Tak Boleh Gagap Digital Hadapi Bonus Demografi 2030
JAKARTA, iNews.id - Pemuda Perindo menegaskan anak-anak Indonesia tidak boleh gagap teknologi dalam menyambut bonus demografi 2030 di tengah era digitalisasi. Kualitas SDM masih kurang baik, sehingga pemerintah harus bebenah soal kualitas pendidikan.
"Nah seharusnya di sini pemerintah juga melek lah, bebenah lah agar 2030 ini banyak SDM-SDM kita ini yang sudah siap mencari uang tanpa harus ke kantor, atau pun tanpa harus on site ke lapangan seperti itu. metode-metode Itulah yang yang belum dipikirkan secara matang," kata Direktur Eksekutif DPP Pemuda Perindo Iqnal Shalat Sukma Wibowo dalam Podcas Aksi Nyata yang berjudul "Digitalisasi Bekal Generasi Muda Hadapi Bonus Demografi" secara daring, Minggu (23/10/2022).
Iqnal mengakui bahwa pandemi Covid-19 ini ada dampak positifnya, yakni membuat masyarakat jadi tidak gagap teknologi dan mau menggunakan teknologi. Hanya saja, kebanyakan penggunaan teknologi itu untuk kebutuhan rapat, tapi untuk kerjanya masih agak susah, sebagian kantor masih mewajibkan datang ke kantor.
"Perusahaan esensial dan non esensial, itu ilmunya untuk pekerja jatuhnya kan itu belum settle. Jadi secara struktur itu pekerjaan itu masih banyak yang dikerjakan secara onsite, nah sedangkan bonus demografi ini kan selain pekerjaan yang harusnya onsite, tracking untuk ilmunya Ini kan harus disusun dari dasar, dari sekolah," ujarnya.
Menurut Iqnal, sekolah ini semestinya sudah ada semacam pelatihan-pelatihan khusus digitalisasi dari lembaga pendidikan agar bisa punya skill. Sayabgnya di Indonesia ini belum seperti Jepang, di mana usia 0-14 itu produktif untuk digital.
"Kalau Jepang umur yang produktif itu 0 sampai 14 dan ke belakangnya udah kurang, kalau kita kebalikannya, yang dewasanya yang malah enggak produktif gitu kan," ungkap Iqnal.
Iqnal melihat, masyarakat Indonesia masih gagap teknologi atau masih ada kekhawatiran dari teknologi sehingga masih banyak yang dibatasin tentang teknologi dan peraturan-peraturannya dibuat terlambat. Jadi, regulasi soal penggunaan teknologi seringkali terlambat daripada penggunaan teknologinya.
"Ya contohnya sekarang kan masalah hukum coba kita lihat sambil sampel kan ada pencurian uang di perbankan, harusnya kan hukumnya ini magisternya atau apanya ini harus didampingi dengan teknologi juga untuk menghitung jejaknya. Jadi tidak tidak lagi harus ada sudut pada ahli, tapi hukumnya sendiri bisa mengetahui tuh ini kan maksudnya ada hukum niaga, hukum pidana, hukum yang teknologinya ini kayaknya masih terpisah nih, belum dicreate," paparnya.
Dia juga menambahkan, semuanya nanti akan lari ke digital, dan untuk bersaing dengan dunia luar maka pondasinya di pendidikan harus kuat. Itulah kenapa sekolah negeri hari ini kurang diminati ketimbang sekolah swasta, bahkan tidak sedikit juga orang tua yang ingin anaknya bersekolah di luar negeri, karena standar pendidikannya.
"Yang tadinya enggak jualan jadi bisa jualan seperti itu kan menggunakan e-commerce, karena semakin banyak nih, seharusnya kalau makin banyak makin diuntungkan. Iya kan jadi pengusahanya itu juga bisa untung, yang belinya bisa dapat cepat lah dari customernya," katanya.
Editor: Faieq Hidayat