Penciptaan Lapangan Kerja Harus Ditopang Industrialisasi
Agus Taufiq
Politisi Muda & Inisiator @KebijakanKita
BEBERAPA tahun lalu, saya pernah mendengar ungkapan bahwa "jantung" dari ekonomi riil adalah pekerjaan: suatu aktivitas inti manusia untuk bertahan hidup dan berkarya dari hari ke hari. Belakangan akhirnya saya tahu, ungkapan tersebut bersumber dari pikiran John Maynard Keynes, seorang ekonom brilian asal Inggris era Perang Dunia, dalam bukunya The General Theory yang terbit 1936 silam.
Memang benar, jika kita pikir lebih dalam, apalah artinya angka-angka ekonomi di atas kertas jika sektor riil yang paling nyata dirasakan masyarakat tidak dalam kondisi baik. Problem inilah yang sedang kita hadapi, yaitu semakin sempitnya lapangan pekerjaan. Karena harus diakui, mencari pekerjaan kini makin tidak mudah. Banyak orang pontang-panting mempersolek CV, mempercantik portofolio, dan menonjolkan kemampuan diri. Hasilnya tetap saja ditolak, bahkan tidak sedikit mendapatkan ghosting dari rekruter perusahaan.
Saya tidak mengarang-ngarang soal ini. Data terbaru BPS soal Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) per Februari 2025 ini memang turun rendah ke angka 4,76%, tetapi masalahnya, banyak yang bekerja di atas fondasi rapuh. Dari mereka yang bekerja, hampir 60% di antaranya berada di sektor informal (sekitar 86,58 juta orang) dengan tingkat upah yang rendah. Bahkan untuk ukuran porsi "setengah bekerja", atau mereka yang jam kerjanya kurang dari 35 jam dalam seminggu, jumlahnya masih sekitar 8%. Hal ini terbukti juga dari stagnasi pertumbuhan upah riil sepanjang 2017-2024 hanya sebesar 0,6% per tahun. Jelas bahwa stagnasi upah riil menunjukkan tidak ada perbaikan kesejahteraan yang berarti.
Lebih miris lagi, ada 9 juta dari 44 juta populasi Gen-Z kita yang berusia 15 hingga 24 tahun berada dalam kondisi NEET. NEET adalah kondisi di mana seseorang tidak sedang menempuh pendidikan, pekerjaan, ataupun pelatihan (not in education, employment, and training) alias tidak sedang melakukan apa-apa. Padahal mereka diharapkan menjadi penopang generasi Indonesia Emas 2045 mendatang.
Menkeu Purbaya baru-baru ini mengucurkan Rp200 triliun ke bank-bank himbara untuk mendorong lebih banyak penyaluran kredit, dengan harapan dunia usaha kembali bergeliat. Dengan dunia usaha yang bergairah, artinya, lapangan pekerjaan akan tercipta lebih banyak. Gagasan ini sebetulnya cukup positif dan patut diapresiasi. Namun masalahnya, gagasan tersebut tidak menjawab masalah fundamental yang tengah kita hadapi. Karena problem mendasarnya terletak pada struktur industri kita yang masih rapuh.
Industri Nasional yang Masih Rapuh
Mesin utama pencipta lapangan kerja formal kita, yaitu industri manufaktur, terus terpukul dalam dua dekade terakhir. Menutup tahun 2024 lalu, kontribusi manufaktur terhadap PDB nasional sebesar 18,9%. Angka ini mencerminkan tren penurunan jangka panjang sejak awal 2000-an ketika peran sektor ini jauh lebih tinggi (saat itu kontribusi manufaktur terhadap PDB di kisaran 24%). Sementara dari sisi tenaga kerja, pangsa pekerja manufaktur terhadap total pekerja hanya sekitar 13,83%. Angka ini terbilang kecil, dan sekaligus menunjukkan betapa rapuhnya struktur pasar tenaga kerja kita.