Penciptaan Lapangan Kerja Harus Ditopang Industrialisasi
Hal inilah yang menjelaskan kenapa tampak begitu banyak orang bekerja, tetapi tidak pernah bisa untuk naik kelas. Asbabnya, tanpa ditopang struktur industri yang kokoh, penyerapan tenaga kerja hanya lari pada sektor-sektor dengan produktivitas rendah dengan upah rendah pula. Bahkan per Februari 2025 lalu, lonjakan penyerapan terbesar ada di perdagangan eceran, yang meskipun sektor ini penting, tetapi rata-rata produktivitas serta tingkat formalitasnya terhitung kecil.
Contoh paling gamblang adalah industri tekstil dan garmen, yang selama ini menjadi lokomotif bagi banyak pekerja perempuan dan pemuda. Sejak 2023-2024, sektor ini terpukul akibat pelemahan permintaan global ditambah gempuran banjir impor. Sektor ini sempat mendapat perhatian serius dari pemerintah, yang kemudian diikuti upaya penyelamatan Sritex karena efek sistemiknya terhadap puluhan ribu pekerja di rantai pasok. Pemerintah menyadari bahwa terpukulnya manufaktur padat karya akan berdampak langsung pada kualitas kerja nasional: lebih banyak yang terdorong pada informalitas atau kerja paruh waktu.
Walau terlihat suram, berita baiknya adalah hilirisasi komoditas yang kini menjadi prioritas pemerintah telah berhasil membawa investasi besar, terutama nikel untuk baterai kendaraan listrik (EV). Meski tantangannya industri nikel kita masih didominasi proses yang sangat padat modal dan belum optimal memberikan nilai tambah ke rantai pasok lanjutan. Sebagai gambaran, Indonesia kini memasok sekitar 61% nikel olahan secara global (2024) dan berpotensi naik hingga 74% pada 2028 mendatang. Posisi strategis ini harus diterjemahkan menjadi lompatan kesempatan kerja melalui pendalaman ekonomi melalui industrialisasi.
Mendorong Industrialisasi
Pemerintah baru-baru ini meluncurkan Strategi Baru Industrialisasi Nasional (SBIN) sebagai roadmap industrialisasi jangka panjang, dan patut kita apresiasi sekaligus nantikan hasilnya. Selaras dengan Asta Cita pemerintahan Prabowo-Gibran, SBIN ditopang lewat empat pilar: industrialisasi berbasis SDA, pengembangan ekosistem industri, penguasaan teknologi, dan keberlanjutan.
Agar seluruh pilar SBIN optimal, saya melihat ada lima kebijakan strategis yang perlu dilakukan segera. Pertama, menyelamatkan sekaligus modernisasi industri padat karya seperti tekstil, garmen, alas kaki, furnitur, dan elektronik rumah tangga untuk memperbaiki fondasi ekonomi. Sektor-sektor tersebut paling cepat menyerap tenaga kerja. Oleh karenanya, beragam isu seperti lonjakan impor terutama yang ilegal, pembiayaan modal, dan transfer teknologi ke industri skala kecil-menengah perlu mendapat perhatian serius.
Kedua, memperdalam klasterisasi ekonomi sebagai basis penguatan ekosistem industri. Misalnya di Jawa Barat adalah klaster otomotif, di Batam adalah elektronik, atau Jawa Timur dan Sumatra adalah pangan-minuman. Kebijakan klaster ditujukan untuk menghubungkan industri menengah-besar dengan UMKM pemasok agar tercipta rantai ekonomi, sehingga perekonomian di bawah turut bergeliat. Agar investasi pada industri besar juga berdampak positif hingga ke kantong-kantong rakyat.