Pengamat Intelijen: Tak Perlu Perjanjian Internasional Selesaikan Konflik Papua
JAKARTA, iNews.id – Penyelesaian masalah di Papua dinilai cukup dilaksanakan oleh otoritas politik dan otoritas hukum dalam negeri. Keterlibatan pihak ketiga, melalui perjanjian internasional seperti Perjanjian Helsinki dalam penyelesaian konflik Aceh, berpotensi mengundang campur tangan asing dan rawan ditunggangi kepentingan lain yang tidak ada hubungannya dengan penyelesaian konflik.
Pengamat intelijen Ngasiman Djoyonegoro menuturkan, keterlibatan asing mengibaratkan situasi seolah-olah telah terjadi deadlock (jalan buntu) dalam menentukan kesepakatan. Padahal, situasi di lapangan tidak demikian. Rakyat Papua menginginkan perdamaian dan pembangunan berkelanjutan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun telah mengupayakan kesetaraan dan pemerataan pembangunan di Papua yang selama ini tertinggal.
“Kesejahteraan dan ekonomi rakyat Papua mulai merangkak naik. Berbagai kemajuan dapat kita lihat lima tahun terakhir,” ungkap Ngasiman melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (24/8/2019).
Dia menilai pendekatan kemanusiaan dan kebudayaan oleh pemerintah dalam menangani gejolak di Papua saat ini sudah tepat. Penyelesaian konflik di Papua oleh otoritas internasional patut diduga hanya kepentingan sebagian kecil elite politik yang ingin mengambil keuntungan dari proses negosiasi tersebut.
Menurut Ngasiman, gagasan perjanjian internasional perlu diwaspadai seiring munculnya kampanye dan upaya diplomasi di tingkat internasional oleh aktor negara dan nonnegara tentang isu kemerdekaan West Papua. Di dalam negeri, renegosiasi divestasi PT Freeport Indonesia yang sedang berlangsung menjadi konteks yang kemungkinan besar mewarnai gagasan perjanjian internasional tersebut.