Get iNews App with new looks!
inews
Advertisement
Aa Text
Share:
Read Next : KY Sudah Kirim Rekomendasi Etik Hakim Pemvonis Tom Lembong ke MA, Apa Sanksinya?
Advertisement . Scroll to see content

Sidang Kasus Korupsi BLBI, Jaksa KPK Hadirkan Boediono Sebagai Saksi

Kamis, 19 Juli 2018 - 10:20:00 WIB
Sidang Kasus Korupsi BLBI, Jaksa KPK Hadirkan Boediono Sebagai Saksi
Mantan Wakil Presiden Boediono. (Foto: Okezone)
Advertisement . Scroll to see content

JAKARTA, iNews.id – Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini bakal menghadirkan mantan Wakil Presiden Boediono dan Duta Besar Indonesia untuk Norwegia Todung Mulya Lubis dalam persidangan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Keduanya dihadirkan sebagai saksi untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.

“Hari ini, untuk persidangan dengan terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung, JPU berencana akan menghadirkan dua orang saksi, yaitu Boediono dan Todung Mulya Lubis,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Kamis (19/7/2018).

Dalam kasus ini, Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) periode 2002-2004 Syafruddin Arsyad Temenggung menjadi terdakwa bersama-sama dengan Dorodjatun Kuntjoro-Jakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK); Sjamsul Nursalim sebagai pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI); dan Itjih S Nursalim. Mereka diduga terlibat dalam korupsi penerbitan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham yang merugikan keuangan negara Rp4,58 triliun.

Boediono diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan menteri keuangan yang diserahi Syafruddin pertanggungjawaban aset-aset BPPN dengan berita acara serah terima (BAST) pada 30 April 2004. Boediono juga diserahi Syafruddin database Bunisys yang berisikan hak tagih utang petambak PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) sejumlah Rp1,129 triliun. Jumlah hak tagih itu berbeda dengan BAST tanggal 27 Februari 2004 dengan nilai buku atau aggregate outstanding balance (AOB) senilai Rp4,862 triliun.

Sementara, Todung Mulya Lubis hari ini diperiksa Pengadilan Tipikor Jakarta sebagai anggota Tim Bantuan Hukum (TBH) Komite KKSK. Berdasarkan keputusan KKSK tanggal 18 Maret 2002, TBH diberikan waktu untuk melakukan evaluasi compliance (kesesuaian) terhadap masing-masing terms PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) dalam waktu satu bulan sejak keputusan tersebut diambil.

BDNI adalah salah satu bank yang dinyatakan tidak sehat dan harus ditutup saat krisis moneter pada 1998. BDNI mengikuti Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dengan pola perjanjian “Master Settlement Aqcuisition Agreement” (MSAA).

BPPN menentukan Jumlah Kewajiban Pemegang Saham (JKPS) per 21 Agustus 1998 memiliki utang (kewajiban) sebesar Rp47,258 triliun yang terdiri dari Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) senilai Rp35,6 triliun dan sisanya adalah simpanan pihak ketiga maupun letter of credit.

Sementara aset yang dimiliki BDNI adalah sebesar Rp18,85 triliun termasuk di dalamnya utang Rp4,8 triliun kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (DCD) dan PT Wachyuni Mandira (WM) milik Sjamsul Nursalim yang awalnya disebut Sjamsul sebagai piutang padahal sebenarnya adalah utang macet (misrepresentasi).

Dari jumlah Rp4,8 triliun itu, sebanyak Rp1,3 triliun dikategorikan sebagai utang yang dapat ditagihkan (sustainable debt) dan dibebankan kepada petambak plasma. Sementara, sebesar Rp3,5 triliun lagi dikategorikan utang yang tidak dapat ditagihkan (unsustainable debt) yang dibebankan kepada Sjamsul sebagai pemilik PT DCD dan PT WM berdasarkan keputusan KKSK pada 27 April 2000 yang dipimpin Kwik Kian Gie.

Namun berdasarkan keputusan KKSK pada 29 Maret 2001 yang dipimpin Rizal Ramli, utang yang dapat ditagih menjadi Rp1,1 triliun dan utang tidak dapat ditagih menjadi Rp1,9 triliun berdasarkan kurs Rp7.000/dolar AS. Sjamsul tetap menolak membayarkan utang tersebut.

Syafruddin lalu memerintahkan anak buahnya membuat verifikasi utang tersebut dan berkesimpulan seluruh utang sustainable dan unstainable adalah Rp3,9 triliun dengan kurs Rp8.500/dolar AS pada 21 Oktober 2003 yang dilaporkan dalam rapat terbatas pada 11 Februari 2004 yaitu utang yang dapat ditagih ke petambak Rp1,1 triliun dan utang tak tertagih Rp2,8 triliun.

Bahkan pada 13 Februari 2004 di bawah kepemimpinan Dorodjatun, KKSK menyetujui penghapusan utang PT DCD dan PT WM, sehingga tinggal utang petambak senilai Rp1,1 triliun dengan rincian utang petambak menjadi Rp100 juta/petambak dikalikan 11 ribu petambak dari tadinya utang Rp135 juta/petambak.

Belakangan saat dijual ke investor, dana untuk negara tinggal Rp220 miliar karena Rp880 miliar dipergunakan sebagai utang baru petambak yaitu Rp80 juta/petambak, sehingga pendapatan negara yang seharusnya Rp4,8 triliun menjadi tinggal Rp220 miliar atau negara dirugikan Rp4,58 triliun berdasarkan audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Editor: Ahmad Islamy Jamil

Follow WhatsApp Channel iNews untuk update berita terbaru setiap hari! Follow
iNews.id
iNews Network
Kami membuka kesempatan bagi Anda yang ingin menjadi pebisnis media melalui program iNews.id Network. Klik lebih lanjut