Lebih lanjut, Rachmat memaparkan bahwa komunikasi politik kebencian ini pada dasarnya sudah muncul sejak pilpres 2014, dan terus memuncak saat pilkada DKI pada 2017 dan pilpres 2019. Praktiknya dilakukan dengan menyerang SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).
Terungkap, Pelaku Keroyok Ade Armando karena Kesal Pernyataannya di Medsos
“Anak bangsa saling serang bukan pada gagasan, tetapi pada aspek SARA yang cenderung negatif dalam. suatu kampanye politik identitas yang negatif,” tuturnya.
Sementara itu, Rachmat berharap mahasiswa yang ingin menyampaikan aspirasi bisa melakukannya dengan ilmu. Sebab, demonstrasi merupakan hak, tetapi, dalam era demokrasi modern ini, dinilai lebih baik jika menjadikan demonstrasi sebagai alternatif terakhir.
“Menurut saya mahasiswa lebih baik menggelar semacam simposium antar mahasiswa. Para pimpinan BEM bisa berkumpul untuk mengevaluasi situasi bangsa. Outputnya bisa berupa pernyataan sikap yang bisa disebarkan ke media massa, DPR maupun pemerintah,” usulnya.
“Apakah ini sudah dilakukan? Jika sudah dilakukan, apakah tidak ada respons dari pemerintah atau DPR? Jika tidak ada maka bisa disebut muncul ketersumbatan channel komunikasi politik. Jika tersumbat maka demonstrasi menjadi pilihan akhir,” tutup Rachmat.
Editor: Puti Aini Yasmin
- Sumatra
- Jawa
- Kalimantan
- Sulawesi
- Papua
- Kepulauan Nusa Tenggara
- Kepulauan Maluku