Syarat Pemakzulan Bupati: Prosedur Hukum, Nuansa Politik dan Kasus Bupati Pati Sudewo
JAKARTA, iNews.id - Syarat pemakzulan bupati kembali menjadi sorotan setelah wacana pemakzulan mencuat terhadap Bupati Pati Sudewo. Polemik ini mengingatkan publik bahwa pemakzulan kepala daerah bukan sekadar isu politik, tetapi memiliki dasar hukum yang jelas dan proses formal yang panjang.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pemakzulan adalah proses atau tata cara untuk melepaskan jabatan. Istilah ini kerap disandingkan dengan kata impeachment yang umumnya digunakan untuk jabatan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam konteks hukum Indonesia, istilah “pemakzulan” sebenarnya tidak digunakan secara formal. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memakai istilah “pemberhentian” kepala daerah. Pemakzulan masuk dalam kategori pemberhentian sebelum masa jabatan berakhir, yang diatur di Paragraf 5 Pasal 78 UU tersebut.
Dilansir dari jurnal ilmiah karya Dwi Haryadi, dosen Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung (FH UBB), berikut penjelasan mengenai syarat pemakzulan bupati:
Pasal 78 UU 23/2014 menyebutkan kepala daerah dapat berhenti karena:
Untuk kategori diberhentikan, ada sembilan alasan:
Dalam praktiknya, untuk konteks lokal seperti pemakzulan bupati, alasan yang paling sering digunakan DPRD hanya empat: pelanggaran sumpah/janji jabatan, tidak melaksanakan kewajiban, melanggar larangan, dan melakukan perbuatan tercela.
Mekanisme pemakzulan bupati tidak sederhana. Ada tiga tahap utama:
DPRD harus memutuskan dalam Rapat Paripurna bahwa bupati melanggar sumpah jabatan atau melakukan pelanggaran lain yang diatur undang-undang. Keputusan ini hanya sah jika dihadiri minimal ¾ anggota DPRD dan disetujui minimal ⅔ anggota yang hadir.
Nuansa politis sangat kental di tahap ini. Jika hubungan bupati dengan mayoritas DPRD baik, pemakzulan bisa saja kandas meskipun ada pelanggaran. Sebaliknya, jika hubungan buruk, proses bisa mulus berjalan.
DPRD mengajukan pendapat tersebut ke MA untuk diperiksa dan diputus dalam waktu 30 hari. Putusan MA bersifat final dan menjadi dasar langkah berikutnya.
Jika MA memutuskan terbukti, DPRD mengusulkan pemberhentian kepada Presiden melalui Mendagri. Presiden wajib memberhentikan bupati paling lambat 30 hari setelah menerima usul.
Jika DPRD tidak mengusulkan dalam 14 hari sejak putusan MA, Mendagri bisa langsung mengajukan pemberhentian ke Presiden.
UU juga memberi kewenangan pemerintah pusat untuk memberhentikan kepala daerah jika DPRD tidak memproses pemakzulan meski ada pelanggaran. Prosesnya serupa: pengumpulan bukti, pemeriksaan MA, lalu pemberhentian oleh Presiden.
Secara teori, syarat pemakzulan bupati adalah persoalan hukum. Namun dalam praktik, aspek politik sering kali lebih dominan. Proses pemakzulan memerlukan mayoritas besar di DPRD, sehingga kekuatan politik, koalisi partai, dan lobi menjadi faktor penentu. Mekanisme ini sejalan dengan prinsip demokrasi dan checks and balances, tetapi juga membuka ruang kompromi atau bahkan tarik-menarik kepentingan.
Wacana pemakzulan Bupati Pati Sudewo mencuat setelah kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 250 persen memicu protes warga. Meski kebijakan dibatalkan, sebagian pihak di DPRD dan masyarakat tetap menggulirkan desakan pemberhentian.
Namun, secara hukum, wacana tersebut baru bisa berlanjut jika memenuhi salah satu dari sembilan syarat pemakzulan dalam Pasal 78, lalu diproses melalui mekanisme Pasal 80. Tanpa proses formal di DPRD dan putusan MA, desakan publik belum bisa menghasilkan pemakzulan yang sah.
Syarat pemakzulan bupati diatur jelas dalam UU 23/2014: mulai dari sembilan alasan pemberhentian hingga prosedur tiga tahap melalui DPRD, MA, dan Presiden/Mendagri. Meskipun regulasi menekankan aspek hukum, kenyataannya proses pemakzulan sangat kental nuansa politik.
Editor: Komaruddin Bagja