Wakil Ketua KPK: UU MD3 Bertentangan Putusan MK
JAKARTA, iNews.id – Pengesahan revisi Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menuai kontroversi. Sejumlah pasal dalam UU yang baru saja disahkan dalam sidang paripurna DPR dinilai bermasalah.
Salah satunya, pasal mengenai pemanggilan dan permintaan keterangan penyidikan kepada anggota DPR harus mendapat persetujuan tertulis presiden dan pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Aturan tersebut tertuang dalam pasal 245 UU MD3.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai pasal 245 bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang digugat ke MK pada tahun 2015.
“Menurut saya UU MD3 itu bertentangan dengan putusan MK sebelumnya. Kalau sudah pernah dibatalkan, dianggap bertentangan dengan konstitusi, dan dibuat lagi ya, secara otomatis kita menganggapnya itu bertentangan dengan konstitusi,” ungkap Laode di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (13/2/2018).
Menurut dia, ketentuan yang mengatur bahwa pemanggilan atau pemeriksaan seorang pejabat terkait tindak pidana harus seizin presiden melanggar prinsip umum hukum yakni equality before the law. Artinya di mata hukum semua tak ada yang istimewa. Tak hanya itu, dia juga menegaskan dalam undang-undang, KPK tidak perlu izin Presiden bila memanggil anggota DPR.
"Saya, Pak Agus (Ketua KPK Agus Rahardjo), Bu Basaria (Wakil Ketua KPK), enggak perlu izin siapa kalau mau dipanggil oleh kepolisian. Presiden pun tidak membentengi dirinya dengan imunitas seperti itu. Makanya saya juga kaget.” kata Laode.
Diketahui, pasal yang menjadi polemik tersebut berbunyi; (1) Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 224 harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan.
(2) Persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak berlaku apabila anggota DPR: (a) Tertangkap tangan melakukan tindak pidana, (b) Disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup, dan (c) Disangka melakukan tindak pidana khusus.
Menanggapi kritik KPK, anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu meminta KPK melaksanakan keputusan MK dan tidak perlu membandingkan dengan putusan MK sebelumnya.
"KPK adalah pelaksana undang-undang bukan penafsir undang-undang. Maka apapun keputusan MK, KPK harus melaksanakan, bukan mengomentari, apalagi membanding-bandingkan putusan MK," tutur Masinton di Gedung DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, (13/2/2018).
Dia juga meminta kepada lembaga antirasuah ini tidak masuk lebih jauh ke ranah legislasi. Menurut politikus PDIP ini, fokus KPK bekerja pada ranah tugas pokok dan fungsi di ranah pemberantasan korupsi.
Masinton menegaskan, dalam undang-undang tersebut sama dengan sebelumnya. Bedanya, dalam hal pelaksanaan tugas dan fungsi pengawasan anggota DPR agar tidak sembarangan dikriminalisasi. Lebih dari itu, dia juga menampik bahwa undang-undang tersebut untuk mempersempit ruang KPK ketika ingin menyelidiki anggota DPR. Sebab, hak imunitas DPR tidak berlaku dalam hal pidana khusus seperti korupsi dan narkoba.
"Enggak ada yang berubah dengan UU MD3 itu, berkaitan hak imunitas itu tidak berlaku dalam konteks hal pidana khusus. Jadi dalam aspek pidana khusus dan hukuman-hukuman yang tinggi bahkan hukuman mati itu tidak berlaku hak imunitas tersebut," katanya.
Editor: Azhar Azis