Menyusuri Trans Kalimantan, Antara Rimba Raya dan Adat Budaya
Pukul 16.00 museum sudah tutup. Tapi masih ada penjaga yang baik hati mau membukakan pintu dan mengizinkan kami masuk bertamu. Penjaga yang baik hati itu bukan orang Dayak. Dia keturunan Jawa tapi besar di Kalimantan. Sebagai anak kolong beliau selalu ikut orang tua yang dapat tugas dinas di sekitaran kalimantan.

Dari penjelasannya, Museum Balanga ini luasnya 5 hektare. Menyimpan banyak barang-barang asli bikinan Suku Dayak. Dengan melihat koleksi yang ada, kita bisa mendapat gambaran kehidupan Suku Dayak Kalimantan Tengah.
Hari semakin sore. Tidak bisa berlama-lama di museum. Bukan karena petugas yang tidak sabar untuk segera pulang, melainkan museum terasa begitu luas untuk kami yang cuma berdelapan. Ditambah lagi dengan informasi bahwa unsur magis sangat melekat pada barang-barang koleksi museum, baik itu senjata tradisional atau sekadar alat pencari ikan.
Konon ada beberapa ruangan yang tidak dianjurkan untuk dilihat. Ruangan tempat penyimpanan senjata-senjata tradisional yang ada isi-nya. Senjata itu kadang bisa tiba-tiba menghilang jika dipanggil pemiliknya saat sedang dibutuhkan. Katanya kalau tidak kuat mental, bisa sakit atau kesambet.

Sesi foto bareng di depan museum ditunda sebentar. Kami Mendapat kabar kalau Pak Budi sudah di Palangkaraya. Sekitar 8 km di luar kota. Janjian ketemu tidak sulit, museum yang terletak di Jalan Raya Tjilik Riwut mudah dicari dan menjadi jalan masuk utama ke kota. Sementara Soderi dan Boy semakin jauh tertinggal. Estimasi kami, mereka baru akan sampai pukul 22.00. Sering berhenti, mungkin banyak tempat menarik disinggahi untuk tidur-tiduran.