"Kami juga mengalami kendala adanya disharmonisasi tarif bea masuk impor yang dikenakan terhadap bahan baku utama berupa polypropylene resin, yaitu sebesar 10 persen, sedangkan tarif bea masuk impor untuk benang polypropylene lebih rendah yaitu sebesar 5 persen," katanya.
Sementara itu, Sekretaris Eksekutif BPN API Rizal Tanzil Rakhman mengatakan, banyaknya barang barang impor karpet dan sajadah yang membanjiri pasar domestik, membuat industri dalam negeri berada dalam kondisi sangat kritis dan tidak akan dapat bertahan lebih lama. Maka itu, upaya untuk memberikan safeguard perlu segera direalisasikan.
"Kami harapkan industri karpet dan sajadah dalam negeri dapat diselamatkan menghindari terjadinya banyak pemutusan hubungan kerja (PHK) yang masif," ujarnya.
Sementara itu, iNews.id mencoba mengkonformasi Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono dan Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Elis Masitoh melalui sambungan telepon. Namun, hingga berita ini diturunkan belum ada jawaban dari bersangkutan.
Sebelumnya, Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) mulai menyelidikan tindakan pengamanan perdagangan atau safeguards atas lonjakan jumlah impor karpet dan penutup lantai tekstil lainnya mulai 10 Juni 2020. Impor tersebut terutama berasal dari China.
Ini dilakukan setelah mendapat permohonan dari Asosiasi Pertekstilan Indonesia yang mewakili industri dalam negeri pada 5 Juni 2020 lalu. Produk karpet dan penutup lantai tekstil lainnya mencakup 62 nomor Harmonized System atau HS 8 digit sesuai dengan Buku Tarif Kepabeanan Indonesia tahun 2017.
"Dari bukti awal permohonan yang diajukan API, KPPI menemukan adanya lonjakan jumlah impor karpet dan penutup lantai tekstil lainnya," kata Ketua KPPI Mardjoko.