Evergrande sangat besar, memiliki sekitar 200.000 karyawan, membukukan penjualan lebih dari 110 miliar dolar pada 2020, dan memiliki lebih dari 1.300 pengembangan di lebih dari 280 kota. Banyak proyek properti yang tertunda sejak tahun lalu karena masalah likuiditas perusahaan.
Analis telah lama khawatir runtuhnya Evergrande dapat memicu risiko yang lebih luas untuk pasar properti China, merugikan pemilik rumah dan sistem keuangan yang lebih luas. Real estate dan industri terkait menyumbang sebanyak 30 persen dari PDB.
Sejak default Evergrande, beberapa pengembang besar lainnya, termasuk Kaisa, Fantasia, dan Shimao Group yang berbasis di Shanghai, juga telah mencari perlindungan dari kreditur.
Dalam beberapa minggu ini, krisis real estat telah meningkat. Ribuan pembeli rumah yang marah yang sebelumnya telah membayar uang muka untuk proyek yang belum selesai mengancam akan berhenti membayar KPR jika konstruksi tidak selesai tepat waktu. Beberapa dari mereka telah melakukan protes di pusat kota Wuhan, menekan pemerintah daerah dan bank untuk membantu mendorong pengembang menyelesaikan rumah prabayar mereka.
"Boikot hipotek merupakan ancaman ganda bagi pengembang dan pasar perumahan," kata analis di Capital Economics dalam sebuah laporan akhir bulan lalu.
Mereka telah menarik perhatian pada masalah pengembang yang kekurangan uang karena tidak dapat menyelesaikan properti yang telah mereka jual, yang menunda pembeli rumah baru. Boikot juga membuat bank lebih berhati-hati dalam memberikan kredit, yang dapat mengurangi penjualan properti lebih lanjut.
Dalam sebuah laporan minggu lalu, S&P Global Ratings memperkirakan penjualan properti di China bisa turun sepertiga tahun ini karena boikot hipotek. Pasalnya, banyak orang percaya pengembang tidak akan dapat menyelesaikan unit prapenjualan tepat waktu.
"Tanpa penjualan, lebih banyak pengembang akan runtuh, yang merupakan ancaman finansial dan ekonomi," kata analis Capital Economics.