JAKARTA, iNews.id - Megaproyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) menghadapi pro dan kontra sejak awal kemunculannya. Sempat ditentang sejumlah pihak, dalam perjalannnya, biaya proyek tersebut bengkak hingga akhirnya disuntik Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Perjalanan proyek ini terbilang panjang. Awalnya, gagasan pembangunan kereta cepat datang dari Jepang. Sejak 2014, Jepang sudah mulai melakukan studi kelayakan untuk pembangunan KCJB dengan anggaran fantastis hingga 3,5 juta dolar AS.
Namun, proposal hasil studi kelayakan milik Jepang dinilai tidak sesuai dengan standar, sehingga ditolak oleh pemerintah Indonesia. Indonesia lebih memilih China untuk menggarap proyek tersebut, dan hal ini membuat Duta Besar Jepang untuk Indonesia saat itu, Yasuaki Tanizaki kecewa.
"Studi kelayakan itu bukti keseriusan kami. Kami perlu datang ke sini untuk studi kelayakan dan butuh dukungan dari Indonesia. Terlepas dari itu, kami menghargai keputusannya tapi tetap, ini bukan keputusan yang mudah," kata dia pada 2015 lalu.
Secara rinci, Jepang mengajukan nilai investasi 6,2 miliar dolar AS dengan skema investasi berupa pinjaman 75 persen dengan tenor 40 tahun yang bunganya 0,1 persen per tahun. Sementara, China menawarkan nilai 5,5 miliar dolar AS dengan skema investasi 40 persen kepemilikan China dan 60 persen lokal.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kala itu, Rini Soemarni mengatakan, jika proposal hasil studi kelayakan dari Jepang mensyaratkan jaminan dari pemerintah. Jepang menyatakan, proyek kereta cepat memiliki tingkat pengembalian investasi atau internal rate of return (IRR) negatif.
Dengan demikian, proyek tersebut tidak menguntungkan, sehingga pembangunan tidak bisa diserahkan sepenuhnya ke swasta dan harus ada jaminan dari pemerintah. Apalagi, dana yang dipinjamkan untuk proyek tersebut harus diberikan kepada pemerintah. Padahal, proyek ini melarang penggunaan APBN.