Sementara transformasi budaya korporasi di BRI diarahkan kepada yang dia sebut performance driven culture. Artinya, kata Sunarso, seluruh insan BRILiaN (karyawan BRI) harus mampu merancang dan merancang kesuksesannya masing-masing. “Semua orang di perusahaan bisa mengeluarkan potensi terbaiknya, dan ini akan kami akumulasikan menjadi potensi terbaik BRI,” ucapnya.
Gaya kepemimpinan di dalam tubuh BRI ternyata berperan penting dalam mewujudkan transformasi budaya dan digital bank pelat merah tersebut pascapademi. Sunarso mengatakan, dia menerapkan kombinasi tiga gaya kepemimpinan dalam mengelola perusahaan sebesar BRI, yaitu instruktif, motivatif, dan inspiratif.
Dia menjelaskan, ada kalanya seorang pemimpin menjadi sangat instruktif terhadap bawahannya, karena sumber daya yang ada di organisasi memang membutuhakan gaya yang semacam itu. Namun di lain waktu, si pemimpin organisasi juga mesti menjadi motivator bagi orang-orang yang dipimpin.
“Ada orang (karyawan) yang sudah paham tentang pekerjaannya, sudah tahu tujuan bersama di perusahaan. Maka tugas seorang pemimpin adalah memotivasi orang-orang ini agar keluar energi mereka untuk diarahkan secara positif untuk mencapai tujuan bersama di perusahaan,” ucap Sunarso.
Dia mengatakan, ada pula orang yang tidak perlu lagi diajari secara detail alias perinci. Mereka ini juga tahu bagaimana memotivasi diri mereka sendiri. Untuk karyawan yang masuk kepada tipe ini, menurut Sunarso, cukup diberi inspirasi. “Jadi, kepada mereka, kami ngomong di taraf yang sangat high level tapi inspiratif, dan kemudian tim kami sudah bisa menjabarkan itu menjadi keinginan mereka untuk menyusun visi perusahaan,” tuturnya.
Dengan kombinasi tiga gaya kepemimpinan tadi, BRI mampu mencetak rekor dengan membukukan laba bersih sebesar Rp51,4 triliun pada tahun lalu. Itu adalah laba tertinggi dalam sejarah perbankan Indonesia sampai saat ini.***