Beberapa risiko yang patut dicermati pada sisa tahun ini salah satunya adalah realisasi penerimaan pajak selama delapan bulan pertama 2019, yang masih tercatat sebesar 51 persen dari target APBN 2019 yang ditetapkan sebesar Rp1.577,56 triliun.
"Hal ini bisa berdampak pada tertundanya belanja pemerintah yang bisa mempengaruhi emiten konstruksi, perbankan dan telekomunikasi yang terkait dengan proyek pemerintah," ujar Lucky.
Dalam catatan Bahana dari kinerja keuangan 100 emiten yang diamati, secara keseluruhan membukukan pertumbuhan pendapatan sebesar 3,6 persen untuk periode Januari-September 2019. Hal ini terutama ditopang oleh sektor perbankan, semen, kesehatan dan obat-obatan, sedangkan sektor konstruksi, perkebunan dan properti membukukan kinerja negatif.
Selama sembilan bulan pertama tahun ini, marjin laba kotor tercatat rata-rata pertumbuhan sebesar 2,9 persen secara tahunan dengan kinerja dari sektor konsumer. Ini dikontribusi dari PT Gudang Garam dan PT Indofood CBP, sedangkan emiten dari sektor perkebunan, konstruksi dan unggas membukukan kinerja negatif.
Sedangkan laba operasional hanya tumbuh sebesar 1,8 persen dibanding periode yang sama tahun lalu, karena turunnya kinerja emiten dari sektor unggas, perkebunan dan konsumer. "Ke depan, dengan adanya rencana pemerintah untuk memotong pajak penghasilan perusahaan, diperkirakan akan ada potensi pembayaran dividen yang lebih besar dari BUMN seperti dari PT Telekomunikasi Indonesia yang memiliki arus kas yang besar dengan rasio utang terhadap modal yang rendah," ujar Lucky.
Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dan Bank Mandiri (BMRI) dengan tingkat kecukupan modal yang tinggi serta dengan tingkat provisi yang semakin berkurang diperkirakan membukukan kinerja positif sampai akhir tahun.