JAKARTA, iNews.id - Kasus jerat Pinjaman Online (Pinjol) dan kejamnya debt colletor perusahaan leasing menjadi video viral hampir di semua sosial media. Hal ini tak lepas dari dampak kecanggihan teknologi digitalisasi keuangan yang terus berkembang.
Bak pisau bermata dua, digitalisasi keuangan memberi kemudahan dan kesulitan bagi rakyat indonesia. Transaksi keuangan bisa dilakukan dengan mudah. Namun disisi lain, data nasabah bisa diakses dengan mudah juga oleh pihak pihak yang mencari keuntungan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) muncul menjadi penjaga setia bagi jutaan rakyat Indonesia yang terjerat pinjol dan teror debt collector perusahaan leasing. OJK dinilai terlihat seperti polisi lalu lintas di persimpangan yang ramai.
Bertugas untuk mengatur agar tak ada tabrakan, tapi kadang mereka harus bekerja ekstra, karena lampu merahnya terlalu lama menyala.
OJK gigih menyusun regulasi untuk mengatasi praktik kejam seperti bunga melambung tinggi, teror debt collector yang melakukan penarikan paksa kendaraan. Namun, dibalik itu semua, suara korban masih bergema. "Kapankah bantuannya datang?"
Hingga akhir 2024 lalu, Data OJK mencatat ribuan pengaduan setiap tahun, dengan total kerugian mencapai triliunan rupiah. Tapi, jangan salah, OJK tak tinggal diam. Mereka memblokir ratusan aplikasi ilegal, batasi bunga, dan fasilitasi ganti rugi.
Namun Pertanyaannya, cukupkah langkah itu untuk korban yang sudah terpuruk? Sepanjang 2024 dan 2025 ini terdapat 16.231 aduan tentang kasus pinjol ilegal. Mayoritas kasus melibatkan kaum perempuan.