Di samping itu, perubahan desain dan pembebasan lahan berdampak pada estimasi anggaran proyek. Terjadinya pembengkakan biaya (cost overrun) hingga mencapai 4,9 miliar dolar AS atau Rp69 triliun, padahal capital expenditure (capex) awal KCJB sebesar 6,07 miliar dolar AS. Jumlah itu terdiri dari EPC 4,8 miliar dolar AS dan 1,3 miliar dolar AS untuk non-EPC.
"Pasti ada perubahan-perubahan desain dan ini membuat pembengkakan biaya. Selain itu, harga tanah juga seiring waktu mengalami perubahan, dan ini wajar terjadi pada semua. Kedua hal ini membuat anggaran kereta cepat mengalami kenaikan," ujar Arya.
Berdasarkan kajian PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI) selaku konsorsium proyek KCJB, pembebasan lahan menjadi permasalahan pelik. Sebab, jalur kereta yang dibangun tercatat luas dan melewati kawasan komersial atau industri. Akibatnya, konsorsium harus mengeluarkan anggaran yang mahal untuk menggeser kawasan-kawasan tersebut.
Selain itu, financing cost yang terjadi karena adanya keterlambatan pengerjaan proyek dan menyebabkan membengkaknya Interest During Construction (IDC) atau talangan bunga atas proyek yang dikerjakan. Dari total anggaran EPC, pembebasan lahan, financing cost, biaya praoperasional dan lainnya menghasilkan kenaikan anggaran yang signifikan. PSBI mengestimasi Capital Output Ratio mencapai 1,9 miliar dolar AS.
Sebagai alternatif percepatan pembangunan megaproyek tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengizinkan penggunaan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) untuk pembangunan KCJB. Keputusan tersebut ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Arya menila, beleid itu menjadi upaya intervensi pemerintah untuk mempercepat proses konstruksi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
"Di semua negara, pemerintah memang ikut campur dalam pendanaan kereta cepat. Di hampir semua negara begitu. Hanya karena masalah Covid-19 yang membuat semua ini menjadi terhambat," ucapnya.